Asri Insani MR
Waktu yang sangat singkat, kecerobohan merubah segalanya menjadi
seperti ini. Kamu yang sudah tidak seperti dulu lagi, kamu yang super duper
cuek entah karena apa itu, kamu yang sampai sekarang selalu membuatku bingung.
Bingung dengan perubahan sikap kamu yang seperti ini.
Segalanya berubah,
sangat berubah saat kata itu terucap. Sifat kekanak-kanakanku yang selama ini
membuatmu gerah. Sifat cerobohku yang akhirnya menghancurkan kita. Kita yang
awalnya sangat dekat dan tiba-tiba sangat jauh seperti ini bagaikan matahari
dan bulan yang tidak akan pernah bisa bertemu di satu tempat yang sama. Kita
yang akhirnya tidak saling menyapa satu sama lain. Kita? Iya kita, setidaknya
sebelum semuanya mendadak berubah seperti ini.
Air mata ini selalu
saja menetes tatkala mengingat masa-masa kita dulu. Disaat kita saling
bercengkrama, saat kita tertawa bersama, saat kita bertengkar, saat kamu berusaha
menghibur ditengah kesedihanku, saat kamu perhatian, saat kamu bilang “Aku
sayang kamu.” Semuanya seakan hilang. Hilang karena sifat cerobohku yang
membuatmu jauh dan semakin jauh. Maaf, kata yang selalu terucap saat mengingat
kesalahanku dulu. Maaf telah membuatmu kecewa. Maaf atas sifatku yang sangat
tidak dewasa ini.
Teringat
beberapa tahun lalu disaat kamu mulai menyatakan perasaan kamu. Kamu bilang
sayang. Senang, nervous, malu, gemetar. Seakan berbaur menjadi satu.
Malam yang dipenuhi dengan gemerlapnya bintang seakan menambah indahnya suasana
malam itu. Dinginnya malam seakan menjadi saksi kebahagiaanku waktu itu. Tapi
sekarang sudah berbeda, kita sudah tidak saling bicara lagi.
...
Aku
tinggal di sebuah sekolah yang berasrama. Intensitas pertemuan dengan orangtuapun
sangat minim. Tapi itu semua tidak menyurutkan semangatku untuk tetap belajar
dan membanggakkan kedua orangtuaku. Sekarang aku sudah kelas tiga SMA. Itu
artinya tidak lama lagi aku akan meninggalkan sekolah ini. Sekolah yang
menyisahkan berbagai macam kenangan yang sangat sulit kulupakan. Termasuk
kenanganku bersamanya. Aku sangat ingat, waktu itu aku masih kelas satu SMA.
“Rin, pulang yuk!” Ucap
Rima sembari menarik tanganku.
“Kamu pulang duluan
aja, entar nyusul kok.”
“Ya sudah, cepetan yah.
Laper nih!” Kata Rima sambil berlalu meninggalkanku.
“Siip, tenang aja.”
Aku
berjalan menyusuri satu persatu ruang kelas yang sudah kosong. Aku melihat jam
tanganku dan ternyata sekarang sudah pukul 14.02 aku bergegas pulang ke asrama
karena sore nanti aku harus kembali lagi ke sekolah untuk kegiatan ekskul.
“Kok
belum pulang?”
Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku berbalik
melihat siapa yang tiba-tiba mengagetkanku.
“Kamu sendiri kenapa
belum pulang?”
“Ditanya kok malah
balik nanya.” kata Eza sambil berjalan ke arahku.
“Hem, iya iya. Tadi ada tugas yang mendesak jadi aku
harus tinggal dulu. Kamu?”
“Aku tertidur, terus nggak ada yang ngebangunin.
Baru nyadar ternyata sudah jam segini.”
“Dasar kamu, di mana-mana kalau orang ke sekolah yah
mau belajar. Eh, malah tidur. Gimana sih!”
“Tadi malam aku kerja tugas, jadi lupa tidur deh. Oh
iya, pulang yuk. Laper nih, dari tadi perutku sudah minta makan!” Ucapnya
sembari menarik tanganku.
Aku hanya bisa tertawa
mendengar gurauannya. Dia memang lucu, sangat lucu. Dia yang bisa membuatku
tertawa lepas seperti ini. Dia yang bisa membantuku melupakan sejenak bebanku
seharian ini. Dia Eza, anak dari kelas sebelah. Tapi tidak jarang dia membuatku
kesal.
...
Aku terbangun dengan
suasana hati yang sangat tidak baik. Bagaimana tidak, hari ini ada pemeriksaan
Jumatan. Bisa mati aku kalau sampai terlambat. Aku melirik jam dinding yang
sudah menunjukkan pukul tujuh.
“Waduh, bahaya nih...
bisa kena hukuman lagi!” Gumamku dalam hati
Tepat pukul setengah
delapan aku sampai di depan pintu gerbang. Mengendap-endap, melihat kiri kanan, dan
berlari menuju kelas.
“Syukurlah, Pak Suryo
belum datang.” Kataku sambil mengusap-usap dada.
Pak Suryo itu salah
seorang guru killer di sekolah.
Terlambat satu detik saja, hukumannya sudah Astagfirullah banget.
Merinding bulu kudukku kalau berpapasan dengannya. Lihat kumisnya saja sudah
bikin nyali ciut.
...
Jam pelajaran telah
usai. Seperti biasa, aku kembali ke asrama dengan berbagai tugas yang memintaku
untuk segera mengerjakannya. Tapi ada yang aneh dengan sikap Eza. Mendadak baik
banget, malah nggak pernah usil seharian ini. Aku berjalan sambil memikirkan
sikap anehnya itu.
“Rin ...”
Aku berbalik mencari tahu siapa yang
memanggilku barusan.
“Oh kamu rupanya. Ada
apa, Za?”
“Entar malam kamu
datang ke sekolah nggak?”
“Yah jelas dong, Za! Kan entar ada belajar malam.
Masa nggak datang. Emang kenapa?”
“Aku pengen bilang sesuatu sama kamu.”
“Emangnya mau bilang apa? Kayaknya penting nih!”
“Tunggu entar malam aja
yah, aku belum bisa ngomong sekarang.” Katanya diselingi dengan senyuman yang
selalu membuatku tenang melihatnya.
“Ya sudah deh, duluan yah. Soalnya banyak tugas
nih.”
Aku berlalu meninggalkannya
yang ternyata masih saja sibuk memperhatikanku. Ada yang aneh dengan anak itu.
Kira-kira dia mau bilang apa? Terus kenapa harus nunggu entar malam? Kenapa nggak
sekarang aja?
“Hey... kok bengong
aja, Neng?” Tanya Fini mengagetkanku.
“Enggak kok, cuman
mikir aja!”
“Emang mikir apaan sih?
Kok serius banget?”
“Kamu tahu nggak, nanti
malam aku diajak ketemuan sama Eza.”
“Emang mau ngapain?
Ciyeee... mau ngapain hayoo?” Kata Fina
sambil mencolekku.
“Aku juga nggak tahu
dia mau bilang apa. Cuman ngajak ketemuan aja.”
“Hem... Jangan jangan Dia...”
“Jangan jangan apa?
Jangan mikir yang macem-macem keles”
“Yah enggak, cuman
nebak aja. Kan nggak ada salahnya nebak-nebak!”
...
Usai
belajar malam, aku bergegas pulang ke asrama. Tapi teman-teman yang lain malah
ngelarang pulang, katanya sih ada yang penting.
“Emangnya
ada apa sih? terus kenapa aku dilarang pulang?”
“Tunggu
lima menit dulu yah, Please!” ucap
Risa sambil menahanku.
“Iya, tapi untuk apa? Kamu tahu nggak, banyak yang
harus aku kerjakan malam ini.”
Ditengah pembicaraanku
dengan Risa, tiba-tiba Eza datang menghampiri kami dengan wajah yang sangat
serius.
“Maaf sudah bikin kamu menunggu, Rin.”
“Oh nggak papa kok. Memangnya ada apa sih?”
“Sebenarnya aku pengen bilang sesuatu sama kamu.
Mungkin agak cepat dan tiba-tiba. Tapi jujur ini sudah lama aku pendam. Sebenarnya
aku sayang kamu. Kamu mau nggak jadi pacar aku?” Katanya sambil menatap mataku,
sangat dalam.
Aku bingung, aku nggak
tahu harus jawab apa. Sejenak aku terdiam memikirkan apa yang akan keluar dari
mulutku untuk menjawab pertanyaannya tadi. Tiba-tiba kelas yang awalnya sepi.
Hanya aku, Eza, dan Risa. Mendadak ramai dipenuhi teman-teman yang waktu itu
belum pulang ke asrama.
Aku makin bingung harus
jawab apa. Aku juga takut mengecewakan Eza. Tidak terasa hampir setengah jam
sudah dia menunggu jawabanku. Dengan terbata-bata aku memberanikan diri untuk
menjawabnya. Akhirnya aku menerimanya walaupun dengan sedikit paksaan dari
teman-teman yang lain.
Waktu semakin berlalu,
hubungan kamipun semakin harmonis saja. Aku juga sudah mulai sayang sama dia. Dia
selalu perhatian, dia selalu mengerti dengan sikap dan sifatku yang kadang
tidak dewasa. Aku bersyukur punya dia. Dia yang selalu menyayangiku. Tapi semua
itu tidak berlangsung lama.
Tiga bulan berjalan,
selalu saja bertengkar. Selalu ada saja yang membuat kami berselisih paham.
Mungkin itu semua juga karena sifatku yang masih kekanak-kanakan. Aku selalu
saja menganggap bahwa aku yang paling benar. Dan akhirnya hubungan kami harus
berakhir. Sedih, sangat sedih. Tapi ini semua salahku dan aku yang harus
menanggung semuanya. Termasuk jauh darinya.
Semakin hari kami
semakin jauh. Dia semakin cuek. Tidak ada sapaan lagi. Tidak ada canda tawa
lagi. Tidak ada senyumnya lagi. Dan tidak ada kebersamaan kami lagi. Semuanya
benar-benar berakhir.
...
Waktu berlalu sangat
cepat, tidak terasa sekarang aku sudah kelas tiga SMA. Sebentar lagi aku akan
meninggalkan sekolah yang penuh dengan kenangan ini. Beberapa bulan lagi Ujian
Nasional akan dilaksanakan. Tetapi ada saja yang mengganjal dalam benakku.
Sampai detik ini aku belum akur sama Eza. Sudah setahun lebih kami tidak pernah
saling bicara.
Setiap hari aku hanya
bisa melihatnya dari jauh, tanpa ada yang tahu kalau aku sedang memperhatikannya.
Kami selalu bertemu, tapi tidak pernah sekalipun saling menyapa.
...
Hingga akhirnya pengumuman kelulusan telah
tiba. Kami merayakannya dengan menggelar syukuran sederhana dengan penuh suka
cita di rumahku, kebetulan hari itu bertepatan dengan ulang tahunku.
Aku berbalik kesana
kemari berharap menemukan sosok Eza yang sudah beberapa bulan ini tidak
kutemui. Aku sangat berharap bisa baikan lagi sama dia. Acara hampir selesai tapi
dia tak kunjung datang juga. Kemana kamu, Za? Apa sebenci itu sampai kamu tidak
mau datang?
Aku mencoba menghubungi
nomor handphonenya, tapi tidak aktif. Aku mulai gelisah, tidak biasanya
dia seperti ini. Perasaanku mulai tidak enak. Entah kenapa aku terus
memikirkannya. Ada apa dengan kamu, Za? kenapa perasaanku tdak enak begini?
Ditengah kegelisahanku, tiba-tiba handphoneku berdering.
“Assalamualaikum. Apa
benar ini dengan nak Airin?”
“Iya benar, maaf ini
dengan siapa yah?”
“Ini mamanya Eza, Nak.”
“Oh iya, ada apa
tante?”
“Eza kecelakaan, Nak.
Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang.”
Aku diam terpaku
mendengar apa yang dikatakan mamanya Eza barusan. Tak kusadari air mataku
perlahan menetes. Aku terjatuh tak sadarkan diri.
...
Entah apa yang terjadi
saat itu, aku tak sadarkan diri. Sesaat setelah itu aku terbangun dan melihat
banyak orang disekelilingku. Yang lebih anehnya aku melihat Eza berdiri tepat
disampingku sambil memegang kue ulang tahun.
Happy birthday to
you...
Happy birthday to
you...
Happy birthday, happy
birtday...
Happy birthday Airin
Air mataku kembali
menetes. Walaupun agak kesal karena dibohongi, aku tetap bersyukur. Yah, sangat
bersyukur dengan surprise party dari mereka semua. Satu persatu
menyalamiku sambil mengucapkan selamat, termasuk Eza.
“Selamat ulang tahun yah, Rin! Mungkin ini hadiah
yang sangat sederhana, tapi aku harap kamu suka.” kata Eza sambil memberikan
sebuah bingkisan kecil.
“ Iya makasih,
Za!”
...
Aku mencoba membuka
bingkisan kecil yang diberikan Eza. Sebuah buku harian yang berwarna biru
dengan hiasan pita kecil ditengahnya. Aku kembali melihat kotak itu dan aku
menemukan kartu ucapan yang bertuliskan.
Buku
harian ini aku berikan padamu agar kamu semakin rajin menulis. Sekalipun hanya
kegiatan harianmu. Tapi aku berharap kamu akan selalu menuliskan kisahmu dibuku
ini, dan semoga cita-citamu untuk menjadi seorang penulis besar bisa terwujud.
Aamiin...
Eza
Terimakasih Tuhan. Sudah memperbaiki
hubungan persahabatan kami lagi. Aku janji tidak akan melakukan kesalahan yang
sama untuk kedua kalinya. Aku janji!
*Selesai*
hebat sekali, sangat bersinar
ReplyDeleteKeren (y)
ReplyDelete