Rika Putri
Nirwana
Masa Putih Abu-Abu adalah masa
paling indah bagi semua orang yang pernah menduduki bangku pendidikan. Sama
halnya dengan aku, Adinda Permata gadis yang menurut orang di sekelilingku
adalah seorang gadis periang. Aku tinggal di kota Tarakan, Kalimantan Timur.
Kotaku terkenal dengan berbagai cemilan yang murah meriah. Sesuatu yang
membahagiakan bagi teman asramaku yang tiap pekan sekali aku sempatkan untuk
membawa cemilan buat mereka. Aku bersekolah di sekolah yang berasarama ‘’Boarding School.’’Aku adalah anak bungsu
dari enam bersaudara. Memang bagi sebagian orang, anak bungsu itu adalah anak
yang manja, tapi menurutku itu tidak benar. Saudara-saudaraku seperti tak
mengharapkan kehadiranku karena mungkin jumlah kami yang terlalu banyak yang
perlu mendapatkan perhatian lebih dari seorang Ayah dan Ibu. Akulah kendala
mereka mendapatkan perhatian itu. Diantara saudara-saudaraku, aku adalah anak
penyabar dan pemberani menurut ibu, tapi bagi saudara-saudaraku aku hanya
menjadi beban buat mereka.
Saat meninggalkan rumah untuk ke
asrama aku hanya membawa segudang kepercayaan untuk membuktikan bahwa aku akan
bertahan walaupun tanpa Ayah dan Ibu disela keseharianku. Dengan tentengan
koper besar aku melangkah perlahan menuju sarana angkutan umum yang telah
terparkir cukup lama di depan rumah. Ibu dan ayah berdiri mematung melihat
kepergianku, hanya pelukan sayang yang mereka berikan, dari sudut mata ibu
cairan kristal cinta menetes haru melepaskan pelukannya. Dan di dalam sana ada kegembiraan saudara-saudaraku
melihat sambil mencibir...paling hanya satu minggu.
Di Asrama...
Aku berjalan menelusuri koridor asrama menuju ruangan
kamarku yang berada disudut. Ada tiga ranjang bertingkat untuk hunian enam
orang siswa. Hal itu mengingatkanku tentang kamar bersama saudara-saudaraku di
rumah. Sunyi sepi yang menemaniku saat itu membuat rasa yang tak pernah aku
rasakan sebelumnya, muncul berada jauh dari lingkungan keluarga jelas membuat
kesan yang begitu berbeda.
Aku berusaha untuk melawan rasa itu. Tapi, memang wajar bagi seorang anak
yang baru memulai hal baru mempunyai kesan yang berbeda. Satu persatu teman
sekamarku pun datang membuat suasana berubah. Kami yang beranggotakan enam
orang tentunya mempunyai kepribadian yang berbeda, dan dibutuhkan pengertian
serta kesabaran untuk menyatukannya. Kesibukan pun mulai memuncak untuk mempersiapkan
hari esok bersama-sama. Ada banyak keseruan
bersama yang dapat menghibur dan mengobati rasa rindu kepada keluargaku di sana.
Disela kesibukkan...
“Dinn.. kenapa kamu terlihat sangat bahagia?” Tanya Tiah bingung.
“Ahh... Tiah ini baru awal, mungkin sifat-sifat yang lain belum muncul.” Jawabku
bijak
“Aaaaa...maksud kamu?” Jawabnya heran.
“Maksud aku, aku ini tipe gadis yang periang jadi dalam kondisi apapun aku
tetap menjadi pribadiku sendiri. Mengertikan?’’ Jawabku santai dengan senyum simpul
“Yayahh.. aku mengerti!”
Kami semua sedang dalam tahap adaptasi.
Mereka belum tahu bagaimana aku dan siapa diriku sebenarnya. Kami belum
mengetahui kepribadian masing-masing. Aku susah untuk menebak seseorang apalagi
seorang yang baru aku kenali. Waktu bergulir cepat semua aktivitas kami jalani
tanpa terasa. Hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu kami lewati
hanya sekejap saja di asrama sedangkan, di hari Minggu aku lewati dengan
tekanan benci dari saudara-saudaraku di rumah. Mungkin hal ini tak jarang di
rasakan oleh anak sepertiku.
Enam Bulan Kemudian...
Aku sudah merasakan betapa indahnya suka duka menjalani hidup bersama
teman-teman di asrama walaupun berada jauh dari orang tua. Kami merasakan berbagai
hal aneh dalam hidup berasrama. Hal tersebut merubah diriku yang dulu periang sekarang
aku menjadi lebih pendiam dan sulit untuk share.
Sejak tinggal di asrama tak pernah sesekalipun aku tidur sebelum pukul 12
malam. Hal itu jelas sangat merugikan diriku sendiri, ada banyak hal aneh yang
terdengar saat kesendirianku menjemput malam. Dari bukit tinggi di sekitar
asrama banyak suara jeritan seorang nenek dan
lolongan aneh seekor anjing liar penguasa bukit. Suara jeritan nenek itu
entah dari mana asalnya karena setahu aku dan teman-teman tak ada seorang nenek
menempati bukit aneh itu.
Pernah sekali mimpi buruk menghampiriku digelapnya malam. Ketika itu semua
orang di asrama sudah berdiam diri bersama selimutnya, sedangkan aku bingung melawan
rasa gelisah menghadapi mimpi yang menakutkan. Untuk share ke teman-teman aku tak berani. Aku takut membuat mereka
ketakutan dengan suasana kamar yang sering membuatku menggigil, dan merinding.
Teman-teman kamarku sendiri jarang merasakan hal-hal yang aneh seperti apa yang
aku rasakan tiap waktu.
Jeritan nenek yang sering aku dengar tiap malam sering hadir dalam tidur
malamku. Posisi ranjang tidur yang sering aku ubah tak menghilangkan mimpi
buruk itu. Pertanyaan yang sering kali muncul dalam benakku adalah mengapa
mimpi itu baru muncul sejak setengah tahun menempati asrama ini, kenapa bukan
dari awal. Mimpi itu sangat menganggu, bukan karena aku takut tapi itu
membuatku merasa terganggu.
Banyak mimpi aneh lainnya yang sering terjadi saat aku sedang tidur siang.
Bangunan tua bekas kebakaran yang berada di belakang asrama pun berkali-kali
muncul dalam mimpiku. Dalam bangunan tua dimimpiku itu terlihat ada tumpukan
cemilan khas Tarakan yang sering menjadi sasaran akhir pekanku sebagai oleh-oleh
ke asrama. Tumpukkan cemilan dan ditambah sebuah meja kasir yang sama seperti meja di koperasi sekolah.
Mimpi aneh di siang haripun itu kerap hadir menjadi beban pikiranku yang
membuatku begitu penasaran.
Tepat hari Kamis, kali ke-2 Ayah dan Ibu menjengukku selama berada di
asrama. Mereka tak lupa membawa cemilan kesukaanku yang sangat manis, cukup
untuk aku dan teman-teman. Aku dan teman-teman sangat gembira karena saat itu
kami sangat kelaparan. Berjam-jam waktuku terlewatkan bersama Ayah dan Ibu
dalam ruangan persegi itu dengan ocehan-ocehan tak penting yang keluar dari
mulutku. Ibu sangat gembira melihat aku yang berada tinggal di asrama tak
merasa tertekan. Disela asyiknya perbincangan...
“Nak...kamu nyamankan tinggal di sini?” Tanya ibu sambil melihat setiap
sisi ruangan kamarku.
“Iya... Ibu tak usah mengkhawatirkanku ini juga kemauanku sendirikan
bersekolah di sini” Jawabku singkat menyakinkan.
Ayah yang saat itu melihatku dengan tatapan berkaca-kaca hanya tersenyum
mendengar jawaban singkatku. Kedatangan
Ayah dan Ibu membuatku sangat bahagia walaupun saudara-saudaraku tak datang
saat itu, itu sudah cukup melepas rindu. Mereka pasti bahagia dengan kenyamanan
kamar dan rumah tanpa kehadiranku.
Senja menjemput waktu itu, aku dengan langkah perlahan mengantarkan Ayah
dan Ibu menuju pintu asrama. Ibu saat itu tak ingin melepas genggaman tangannya
dariku membuatku terpaksa meneriaki Ayah yang telah jauh melangkah menunju
kendaraan pulang. Dengan kecupan manis dikeningku Ibupun lalu pergi. Dengan lambaian tangan
terakhir akupun berjalan masuk ke kamar. Saat itu aku hanya masuk sebentar ke
kamar dan berniat mengambil air wudhu untuk shalat Magrib.
Tak sadar saat itu mungkin karena sangat lelah, aku tiba-tiba tertidur di
sela-sela Adzan Musollah berkumandang. Memang sangat wajar orang tertidur tak
bisa meyeimbangkan kesadarannya itulah aku. Di ruangan dengan lampu sendu itu aku terbaring
sendiri dan mimpi buruk yang hadir kembali menemani. Mimpi hal-hal aneh itu
terjadi saat aku mulai hidup di asrama.
Pukul 19.34 WIB
Teman-teman
kamarku yang baru pulang dari shalat melihatku terbaring dengan gerakan
berputar pada ranjang seperti orang kesurupan. Seisi asrama begitu gempar
melihat tingkah anehku itu. Terlebih lagi yang paling aneh itu saat aku
berjalan menuju sudut pintu asrama, di mana ada sebuah tempat sampah, tempat
ibu membuang kantongan cemilan yang dibawanya. Aku mengacak-acak tong sampah
itu di bawah ketidaksadaranku. Tiah sebagai teman dekatku sangat bingung dengan
tingkahku itu. Tak ingin membuang waktu Tiah lalu ke WC mengambil sebaskom air
dan menyiramku, dan kesadarankupun kembali.
Kejadian itu membuat teman seasramaku begitu takut melihat tingkahku. Tiah,
dialah teman yang setia melihat tingkahku tanpa rasa ketakutan. Sejak kejadian
malam itu akupun berniat membuat catatan tiap malamnya dengan berbagai mimpi buruk
yang ku alami. Aku yakin dibalik semua itu ada sebuah rahasia yang mungkin bisa
terungkap dari bunga tidurku itu. Aku tak begitu shocked dengan kejadian-kejadian itu hanya saja aku masih menyimpan
rasa penasaran yang menggebu-gebu dalam benakku. Untuk mengurangi beban aku
mencoba untuk menceritakan semuanya kepada Tiah. Di teras asrama.
“Tiii... tolong bantu aku untuk mengungkap cerita mimpi ini.” Kataku cemas
“Iyaah..iyaaaahh.. cerita saja Dindaa.” Jawabnya gugup
Tanpa basa basi lagi akupun memberikan kumpulan cerita mimpi yang selama
ini aku alami. Dengan waktu yang cukup lama kami terdiam tanpa kata.
Tiba-tiba...
“Dinda.. mungkin ada baiknya jika kamu pindah sekolah ajah deh.” Katanya
dengan tegas.
“Aahh... Kenapa kamu menyuruh aku pindah tanpa alasan seperti itu.
Akhir-akhir ini aku memang menjadi pendiam beda jauh dari biasanya, apa
alasannya? Aku tak ingin membuat orang ketakutan di asrama ini dengan apa yang
aku alami. Tidak mesti harus meninggalkan tempat ini.” Jawabku memperjelas.
Bukan begitu maksudku, dari catatan mimpi kamu yang aku baca, aku takut dengan
sosok nenek itu.” Kata Tiah dengan suara tersekat, ada rasa cemas di sana.
Tanpa hitungan menit aku lalu meninggalkan Tiah masuk ke kamar dengan perasaan
donkol, padahal aku ingin membagi beban itu, malaj Tiah menyuruhkau yang
bukan-bukan. Aku tidak mungkin menginggalkan asrama ini titik. Malam itu terasa
panjang, Aku yang tidak bisa tidur cepat mendapati Tiah sedang bermimpi, Tiah
menangis. Aku hanya terdiam, rasanya tidak ingin tidur...karena bila mata ini
terpejam, pasti hanya mimpi yang sama akan datang.
Rasa bosan sering menghampiri pikiranku di setiap pagi menjemput karena
setiap malamnya hal-hal aneh itu selalu datang. Tiba-tiba saat aku bersiap-siap
menuju ke sekolah Tiah kemudian berlari dengan menenteng alat mandinya dalam
keadaan tergesah-gesah, menarikku memasuki asrama kembali. Dalam pikiranku
pasti ini menyangkut mimpi yang dialami Tiah semalam. Waktu demi waktu bergulir
saat itu, sampai saat dimana bel jam pelajaran pertama berbunyi yang kedengaran
dari sekolah yang berjarak beberapa meter dari asrama.
Cerita mimpi yang dialami Tiah
semalam membuat pikiranku semakin kacau. Mimpi yang dialami Tiah tak beda jauh
dan semua inti mimpi yang ku alami tiap malam.
Sepulang dari Sekolah...
Saat pulang sekolah aku
dan Tiah yang berada di barisan terakhir dari rombongan teman yang menuju
asrama. Kami sedang membicarakan tentang mimpi yang sering mengusik hari-hari
kami. Para senior bingung dan melihat
tingkah kami saat itu, mungkin mengira kami
sedang membicarakannya. Di sela-sela pembicaraan kamipun tak lupa singgah untuk
menyantap makan siang yang telah disediakan oleh ibu pantry. Kami yang sedang asyik berbicara sambil menyantap ayam
goreng di siang panas, masih saja mencoba mengungkap misteri mimpi itu dan mencoba menghubungkannya sampai
mencapai titik temu.
Tinggg... tringkk... aku yang begitu terbata-bata memegang sendok makan
begitu kaget saat ibu pantry yang
mendengar pembicaran kami. Dan ibu pantry
pun menjelaskan misteri yang mungkin dapat membantu kami memecahkan misteri
mimpi buruk kami. Ternyata memang benar ada seorang nenek yang tinggal di bukit
belakang asrama kami. Nenek itu sangat misterius bagi penduduk sekitar terutama
bagi orang luar kebanyakaan yang sering ke bukit untuk berpetualang.
“Malam ini kita selesaikan semuanya.” Aku menguatkan Tiah yang sedang
gemetar.
“Kita tidak bisa hidup dalam ketakutan seperti ini, bila nenek di atas
bukit itu dapat memberikan penjelasan atas mimpi-mimpi kita, maka kita akan ke
sana!”
Aku sudah tidak menghiraukan lagi, ini kenekatan atau kebodohan. Pokoknya
aku ingin menghentikan mimpi-mimpi itu, dan menurutku satu-satunya jalan adalah
mencari pondok nenek misterius di belakang bukit. Dan tentu Tiah gemetar hebat
mendengarkan rencana itu.
“Sadar Dinda...kamu itu nekat sekali. Masih banyak hal yang dapat kita
lakukan, salah satunya memberitukan ibu asrama tentang masalah ini.” Tiah
mencoba menahan keinginanku.
“Tidak akan menyelesaikan persoalan, walaupun kita dipindahkan ke asrama
dua, tetap saja mimpi itu akan selalu muncul, tidak...aku akan mencari nenek
itu.” Aku menguatkan diri.
Akhirnya Tiah dengan sangat terpaksa menemaniku ke atas bukit saat senja
sudah mulai menaungi hutan kecil di atas bukit, bermodalkan senter dan sedikit
keberanian, aku dan Tiah mendaki bukit kecil di belakang asrama, yang menurut
ibu pantry nenek misterius itu akan
berada di atas bukit saat matahari akan terbenam.
Rasanya waktu menjadi berhenti, sampai akhirnya dari kejauhan ada titik
cahaya dan sebuah gubuk tua. Tiah yang tak bisa menahan rasa takutnya diam-diam
menangis dibahuku. Mengumpulkan semua keberanian, walaupun lututku rasanya
goyah. Aku mengetuk pintu dan memberi salam.
“Assalamu alaikum. Ada orang di dalam”
Kataku dengan suara tersekat, kebodohan apa yang aku lakukan ini,
pikirku.
“Waalaikum salam, siapa di luar.” Suara parau dan berat menjawab salamku
dari dalam.
Pintu terbuka dan tampaklah pemandangan menakutkan, seorang nenek sedikit
bungkuk, dengan muka tidak karuan seperti bekas terbakar. Rasanya ingin lari
saja, tetapi kaki ini tidak mampu digerakkan.
Brakk...dan Tiahpun jatuh pingsan. Aku dengan gemetar berusaha menahan
beban, dan memengang pintu agar tidak jatuh.
Ternyata nenek itu begitu ramah walaupun wajahnya tak tampak seperti
manusia akibat luka bakar. Nenek itu pun mulai menceritakan kronologi kejadian-kejadian
yang dialaminya kebaaran bangunan tua tempat tinggalnya itu. Dulu Ia adalah
satu-satunya penjual di atas bukit, setiap pendatang selalu singgah di kedai
miliknya. Orang-orang pendatanglah penyebab dari semua kebakaran itu terjadi,
mereka membuat putung rokok tepat di tong sampah yang berisikan pembungkus kresek
cemilan sehingga menyebabkan kebakaran besar. Tapi, kenapa itu hadir dalam mimpiku,
dan kenapa harus aku. Pertanyaan-pertanyaan itu pun saat itu terjawab. Si nenek
memberitahuku bahwa hal seperti ini memang biasa bagi seorang anak yang di
penuhi beban pikiran sehingga terbawa ke mimpi buruk, cerita keangkeran bukit
itu selalu dilebih-lebihkan dan dibumbui secara dramatis oleh orang-orang
sekitar bukit, untuk membuat takut anak-anak mereka supaya tidak bermain jauh
saat matahari sudah mulai tenggelam. Dan kisah itupun beredar di asrama di
tengah-tengah siswa. Dan itu diterima secara berbeda, ada yang percaya, ada
yang tidak. Dan menurut nenek itu mereka yang memiliki beban pikiran itulah
yang selalu menjadikan kisah itu masuk dalam mimpi-mimpi mereka. Sudah banyak
siswa yang pindah karena selalu mendapat mimpi buruk akibat kisah-kisah aneh seputar
asrama.
Dalam benakkupun meng-iyakan hal itu, saudara-saudara kandungku sendiri memang
penuh akan kebencian yang menjadi beban berat dalam hidupku selama ini. Saat
semuanya jelas dengan lega kamipun tidak membuang waktu pulang ke asrama.
Malam itu berjalan lancar. Beban pikiranku
pun terlepas begitu saja dan memahami sifat dasar kemanusiawian manusia.
Cerita mimpi yang menganggu pun terselesaikan dengan akhir yang melegakan serta
mengembalikan diriku yang periang. Teman-teman asrama kami pun percaya dan tak
akan merasa ketakutan lagi dengan hal-hal aneh yang bermunculan. Menyelesaikan masalah sendiri adalah jalan
terbaik menuju kemandirian dari kejadian ini diberilah kami julukan, Adinda
Permata dan Tiah Oktariani sebagai “Gadis Perangkai Mimpi” Kini cerita mimpi
yang kami rangkai, ternyata dulunya pernah menjadi kisah nyata yang belum
terungkap dan sekarang telah menjadi
cerita yang akrab ditelinga masyarakat sekitar asrama kami.
Tamat
No comments:
Post a Comment