Monday, 6 October 2014

Gadis Perangkai Mimpi



Rika Putri Nirwana
            Masa Putih Abu-Abu adalah masa paling indah bagi semua orang yang pernah menduduki bangku pendidikan. Sama halnya dengan aku, Adinda Permata gadis yang menurut orang di sekelilingku adalah seorang gadis periang. Aku tinggal di kota Tarakan, Kalimantan Timur. Kotaku terkenal dengan berbagai cemilan yang murah meriah. Sesuatu yang membahagiakan bagi teman asramaku yang tiap pekan sekali aku sempatkan untuk membawa cemilan buat mereka. Aku bersekolah di sekolah yang berasarama ‘’Boarding School.’’Aku adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Memang bagi sebagian orang, anak bungsu itu adalah anak yang manja, tapi menurutku itu tidak benar. Saudara-saudaraku seperti tak mengharapkan kehadiranku karena mungkin jumlah kami yang terlalu banyak yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari seorang Ayah dan Ibu. Akulah kendala mereka mendapatkan perhatian itu. Diantara saudara-saudaraku, aku adalah anak penyabar dan pemberani menurut ibu, tapi bagi saudara-saudaraku aku hanya menjadi beban buat mereka.
            Saat meninggalkan rumah untuk ke asrama aku hanya membawa segudang kepercayaan untuk membuktikan bahwa aku akan bertahan walaupun tanpa Ayah dan Ibu disela keseharianku. Dengan tentengan koper besar aku melangkah perlahan menuju sarana angkutan umum yang telah terparkir cukup lama di depan rumah. Ibu dan ayah berdiri mematung melihat kepergianku, hanya pelukan sayang yang mereka berikan, dari sudut mata ibu cairan kristal cinta menetes haru melepaskan pelukannya. Dan di dalam  sana ada kegembiraan saudara-saudaraku melihat sambil mencibir...paling hanya satu minggu.
Di Asrama...
Aku berjalan menelusuri koridor asrama menuju ruangan kamarku yang berada disudut. Ada tiga ranjang bertingkat untuk hunian enam orang siswa. Hal itu mengingatkanku tentang kamar bersama saudara-saudaraku di rumah. Sunyi sepi yang menemaniku saat itu membuat rasa yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, muncul berada jauh dari lingkungan keluarga jelas membuat kesan yang begitu berbeda.
Aku berusaha untuk melawan rasa itu. Tapi, memang wajar bagi seorang anak yang baru memulai hal baru mempunyai kesan yang berbeda. Satu persatu teman sekamarku pun datang membuat suasana berubah. Kami yang beranggotakan enam orang tentunya mempunyai kepribadian yang berbeda, dan dibutuhkan pengertian serta kesabaran untuk menyatukannya. Kesibukan pun mulai memuncak untuk mempersiapkan hari esok bersama-sama. Ada banyak  keseruan bersama yang dapat menghibur dan mengobati rasa rindu kepada keluargaku di sana. Disela kesibukkan...
“Dinn.. kenapa kamu terlihat sangat bahagia?” Tanya Tiah bingung. 
“Ahh... Tiah ini baru awal, mungkin sifat-sifat yang lain belum muncul.” Jawabku bijak
“Aaaaa...maksud kamu?” Jawabnya heran.
“Maksud aku, aku ini tipe gadis yang periang jadi dalam kondisi apapun aku tetap menjadi pribadiku sendiri. Mengertikan?’’ Jawabku  santai dengan senyum simpul
“Yayahh.. aku mengerti!”
              Kami semua sedang dalam tahap adaptasi. Mereka belum tahu bagaimana aku dan siapa diriku sebenarnya. Kami belum mengetahui kepribadian masing-masing. Aku susah untuk menebak seseorang apalagi seorang yang baru aku kenali. Waktu bergulir cepat semua aktivitas kami jalani tanpa terasa. Hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu kami lewati hanya sekejap saja di asrama sedangkan, di hari Minggu aku lewati dengan tekanan benci dari saudara-saudaraku di rumah. Mungkin hal ini tak jarang di rasakan oleh anak sepertiku.
Enam Bulan Kemudian...
Aku sudah merasakan betapa indahnya suka duka menjalani hidup bersama teman-teman di asrama walaupun berada jauh dari orang tua. Kami merasakan berbagai hal aneh dalam hidup berasrama. Hal tersebut merubah diriku yang dulu periang sekarang aku menjadi lebih pendiam dan sulit untuk share.
Sejak tinggal di asrama tak pernah sesekalipun aku tidur sebelum pukul 12 malam. Hal itu jelas sangat merugikan diriku sendiri, ada banyak hal aneh yang terdengar saat kesendirianku menjemput malam. Dari bukit tinggi di sekitar asrama banyak suara jeritan seorang nenek dan  lolongan aneh seekor anjing liar penguasa bukit. Suara jeritan nenek itu entah dari mana asalnya karena setahu aku dan teman-teman tak ada seorang nenek menempati bukit aneh itu.
Pernah sekali mimpi buruk menghampiriku digelapnya malam. Ketika itu semua orang di asrama sudah berdiam diri bersama selimutnya, sedangkan aku bingung melawan rasa gelisah menghadapi mimpi yang menakutkan. Untuk share ke teman-teman aku tak berani. Aku takut membuat mereka ketakutan dengan suasana kamar yang sering membuatku menggigil, dan merinding. Teman-teman kamarku sendiri jarang merasakan hal-hal yang aneh seperti apa yang aku rasakan tiap waktu.
Jeritan nenek yang sering aku dengar tiap malam sering hadir dalam tidur malamku. Posisi ranjang tidur yang sering aku ubah tak menghilangkan mimpi buruk itu. Pertanyaan yang sering kali muncul dalam benakku adalah mengapa mimpi itu baru muncul sejak setengah tahun menempati asrama ini, kenapa bukan dari awal. Mimpi itu sangat menganggu, bukan karena aku takut tapi itu membuatku merasa terganggu.
Banyak mimpi aneh lainnya yang sering terjadi saat aku sedang tidur siang. Bangunan tua bekas kebakaran yang berada di belakang asrama pun berkali-kali muncul dalam mimpiku. Dalam bangunan tua dimimpiku itu terlihat ada tumpukan cemilan khas Tarakan yang sering menjadi sasaran akhir pekanku sebagai oleh-oleh ke asrama. Tumpukkan cemilan dan ditambah sebuah meja kasir  yang sama seperti meja di koperasi sekolah. Mimpi aneh di siang haripun itu kerap hadir menjadi beban pikiranku yang membuatku begitu penasaran.
Tepat hari Kamis, kali ke-2 Ayah dan Ibu menjengukku selama berada di asrama. Mereka tak lupa membawa cemilan kesukaanku yang sangat manis, cukup untuk aku dan teman-teman. Aku dan teman-teman sangat gembira karena saat itu kami sangat kelaparan. Berjam-jam waktuku terlewatkan bersama Ayah dan Ibu dalam ruangan persegi itu dengan ocehan-ocehan tak penting yang keluar dari mulutku. Ibu sangat gembira melihat aku yang berada tinggal di asrama tak merasa tertekan. Disela asyiknya perbincangan...
“Nak...kamu nyamankan tinggal di sini?” Tanya ibu sambil melihat setiap sisi ruangan kamarku.
“Iya... Ibu tak usah mengkhawatirkanku ini juga kemauanku sendirikan bersekolah di sini” Jawabku singkat menyakinkan.
Ayah yang saat itu melihatku dengan tatapan berkaca-kaca hanya tersenyum mendengar  jawaban singkatku. Kedatangan Ayah dan Ibu membuatku sangat bahagia walaupun saudara-saudaraku tak datang saat itu, itu sudah cukup melepas rindu. Mereka pasti bahagia dengan kenyamanan kamar dan rumah tanpa kehadiranku.
Senja menjemput waktu itu, aku dengan langkah perlahan mengantarkan Ayah dan Ibu menuju pintu asrama. Ibu saat itu tak ingin melepas genggaman tangannya dariku membuatku terpaksa meneriaki Ayah yang telah jauh melangkah menunju kendaraan pulang. Dengan kecupan manis dikeningku  Ibupun lalu pergi. Dengan lambaian tangan terakhir akupun berjalan masuk ke kamar. Saat itu aku hanya masuk sebentar ke kamar dan berniat mengambil air wudhu untuk shalat Magrib.
Tak sadar saat itu mungkin karena sangat lelah, aku tiba-tiba tertidur di sela-sela Adzan Musollah berkumandang. Memang sangat wajar orang tertidur tak bisa meyeimbangkan kesadarannya itulah aku.  Di ruangan dengan lampu sendu itu aku terbaring sendiri dan mimpi buruk yang hadir kembali menemani. Mimpi hal-hal aneh itu terjadi saat aku mulai hidup di asrama.
Pukul 19.34 WIB
            Teman-teman kamarku yang baru pulang dari shalat melihatku terbaring dengan gerakan berputar pada ranjang seperti orang kesurupan. Seisi asrama begitu gempar melihat tingkah anehku itu. Terlebih lagi yang paling aneh itu saat aku berjalan menuju sudut pintu asrama, di mana ada sebuah tempat sampah, tempat ibu membuang kantongan cemilan yang dibawanya. Aku mengacak-acak tong sampah itu di bawah ketidaksadaranku. Tiah sebagai teman dekatku sangat bingung dengan tingkahku itu. Tak ingin membuang waktu Tiah lalu ke WC mengambil sebaskom air dan menyiramku, dan kesadarankupun kembali.
Kejadian itu membuat teman seasramaku begitu takut melihat tingkahku. Tiah, dialah teman yang setia melihat tingkahku tanpa rasa ketakutan. Sejak kejadian malam itu akupun berniat membuat catatan tiap malamnya dengan berbagai mimpi buruk yang ku alami. Aku yakin dibalik semua itu ada sebuah rahasia yang mungkin bisa terungkap dari bunga tidurku itu. Aku tak begitu shocked dengan kejadian-kejadian itu hanya saja aku masih menyimpan rasa penasaran yang menggebu-gebu dalam benakku. Untuk mengurangi beban aku mencoba untuk menceritakan semuanya kepada Tiah. Di teras asrama.
“Tiii... tolong bantu aku untuk mengungkap cerita mimpi ini.” Kataku cemas
“Iyaah..iyaaaahh.. cerita saja Dindaa.” Jawabnya gugup
Tanpa basa basi lagi akupun memberikan kumpulan cerita mimpi yang selama ini aku alami. Dengan waktu yang cukup lama kami terdiam tanpa kata. Tiba-tiba...
“Dinda.. mungkin ada baiknya jika kamu pindah sekolah ajah deh.” Katanya dengan tegas.
“Aahh... Kenapa kamu menyuruh aku pindah tanpa alasan seperti itu. Akhir-akhir ini aku memang menjadi pendiam beda jauh dari biasanya, apa alasannya? Aku tak ingin membuat orang ketakutan di asrama ini dengan apa yang aku alami. Tidak mesti harus meninggalkan tempat ini.” Jawabku memperjelas.
Bukan begitu maksudku, dari catatan mimpi kamu yang aku baca, aku takut dengan sosok nenek itu.” Kata Tiah dengan suara tersekat, ada rasa cemas di sana.
Tanpa hitungan menit aku lalu meninggalkan Tiah masuk ke kamar dengan perasaan donkol, padahal aku ingin membagi beban itu, malaj Tiah menyuruhkau yang bukan-bukan. Aku tidak mungkin menginggalkan asrama ini titik. Malam itu terasa panjang, Aku yang tidak bisa tidur cepat mendapati Tiah sedang bermimpi, Tiah menangis. Aku hanya terdiam, rasanya tidak ingin tidur...karena bila mata ini terpejam, pasti hanya mimpi yang sama akan datang.
Rasa bosan sering menghampiri pikiranku di setiap pagi menjemput karena setiap malamnya hal-hal aneh itu selalu datang. Tiba-tiba saat aku bersiap-siap menuju ke sekolah Tiah kemudian berlari dengan menenteng alat mandinya dalam keadaan tergesah-gesah, menarikku memasuki asrama kembali. Dalam pikiranku pasti ini menyangkut mimpi yang dialami Tiah semalam. Waktu demi waktu bergulir saat itu, sampai saat dimana bel jam pelajaran pertama berbunyi yang kedengaran dari sekolah yang berjarak beberapa meter dari asrama.
            Cerita mimpi yang dialami Tiah semalam membuat pikiranku semakin kacau. Mimpi yang dialami Tiah tak beda jauh dan semua inti mimpi yang ku alami tiap malam.
Sepulang dari Sekolah...
            Saat pulang sekolah aku dan Tiah yang berada di barisan terakhir dari rombongan teman yang menuju asrama. Kami sedang membicarakan tentang mimpi yang sering mengusik hari-hari kami. Para senior bingung dan  melihat tingkah kami saat  itu, mungkin mengira kami sedang membicarakannya. Di sela-sela pembicaraan kamipun tak lupa singgah untuk menyantap makan siang yang telah disediakan oleh ibu pantry. Kami yang sedang asyik berbicara sambil menyantap ayam goreng di siang panas, masih saja mencoba mengungkap misteri  mimpi itu dan mencoba menghubungkannya sampai mencapai titik temu.
Tinggg... tringkk... aku yang begitu terbata-bata memegang sendok makan begitu kaget saat ibu pantry yang mendengar pembicaran kami. Dan ibu pantry pun menjelaskan misteri yang mungkin dapat membantu kami memecahkan misteri mimpi buruk kami. Ternyata memang benar ada seorang nenek yang tinggal di bukit belakang asrama kami. Nenek itu sangat misterius bagi penduduk sekitar terutama bagi orang luar kebanyakaan yang sering ke bukit untuk berpetualang.
“Malam ini kita selesaikan semuanya.” Aku menguatkan Tiah yang sedang gemetar.
“Kita tidak bisa hidup dalam ketakutan seperti ini, bila nenek di atas bukit itu dapat memberikan penjelasan atas mimpi-mimpi kita, maka kita akan ke sana!”
Aku sudah tidak menghiraukan lagi, ini kenekatan atau kebodohan. Pokoknya aku ingin menghentikan mimpi-mimpi itu, dan menurutku satu-satunya jalan adalah mencari pondok nenek misterius di belakang bukit. Dan tentu Tiah gemetar hebat mendengarkan rencana itu.
“Sadar Dinda...kamu itu nekat sekali. Masih banyak hal yang dapat kita lakukan, salah satunya memberitukan ibu asrama tentang masalah ini.” Tiah mencoba menahan keinginanku.
“Tidak akan menyelesaikan persoalan, walaupun kita dipindahkan ke asrama dua, tetap saja mimpi itu akan selalu muncul, tidak...aku akan mencari nenek itu.” Aku menguatkan diri.
Akhirnya Tiah dengan sangat terpaksa menemaniku ke atas bukit saat senja sudah mulai menaungi hutan kecil di atas bukit, bermodalkan senter dan sedikit keberanian, aku dan Tiah mendaki bukit kecil di belakang asrama, yang menurut ibu pantry nenek misterius itu akan berada di atas bukit saat matahari akan terbenam.
Rasanya waktu menjadi berhenti, sampai akhirnya dari kejauhan ada titik cahaya dan sebuah gubuk tua. Tiah yang tak bisa menahan rasa takutnya diam-diam menangis dibahuku. Mengumpulkan semua keberanian, walaupun lututku rasanya goyah. Aku mengetuk pintu dan memberi salam.
“Assalamu alaikum. Ada orang di dalam”  Kataku dengan suara tersekat, kebodohan apa yang aku lakukan ini, pikirku.
“Waalaikum salam, siapa di luar.” Suara parau dan berat menjawab salamku dari dalam.
Pintu terbuka dan tampaklah pemandangan menakutkan, seorang nenek sedikit bungkuk, dengan muka tidak karuan seperti bekas terbakar. Rasanya ingin lari saja, tetapi kaki ini tidak mampu digerakkan.
Brakk...dan Tiahpun jatuh pingsan. Aku dengan gemetar berusaha menahan beban, dan memengang pintu agar tidak jatuh.
Ternyata nenek itu begitu ramah walaupun wajahnya tak tampak seperti manusia akibat luka bakar. Nenek itu pun mulai menceritakan kronologi kejadian-kejadian yang dialaminya kebaaran bangunan tua tempat tinggalnya itu. Dulu Ia adalah satu-satunya penjual di atas bukit, setiap pendatang selalu singgah di kedai miliknya. Orang-orang pendatanglah penyebab dari semua kebakaran itu terjadi, mereka membuat putung rokok tepat di tong sampah yang berisikan pembungkus kresek cemilan sehingga menyebabkan kebakaran besar. Tapi, kenapa itu hadir dalam mimpiku, dan kenapa harus aku. Pertanyaan-pertanyaan itu pun saat itu terjawab. Si nenek memberitahuku bahwa hal seperti ini memang biasa bagi seorang anak yang di penuhi beban pikiran sehingga terbawa ke mimpi buruk, cerita keangkeran bukit itu selalu dilebih-lebihkan dan dibumbui secara dramatis oleh orang-orang sekitar bukit, untuk membuat takut anak-anak mereka supaya tidak bermain jauh saat matahari sudah mulai tenggelam. Dan kisah itupun beredar di asrama di tengah-tengah siswa. Dan itu diterima secara berbeda, ada yang percaya, ada yang tidak. Dan menurut nenek itu mereka yang memiliki beban pikiran itulah yang selalu menjadikan kisah itu masuk dalam mimpi-mimpi mereka. Sudah banyak siswa yang pindah karena selalu mendapat mimpi buruk akibat kisah-kisah aneh seputar asrama.
Dalam benakkupun meng-iyakan hal itu, saudara-saudara kandungku sendiri memang penuh akan kebencian yang menjadi beban berat dalam hidupku selama ini. Saat semuanya jelas dengan lega kamipun tidak membuang waktu pulang ke asrama.
Malam itu berjalan lancar. Beban pikiranku  pun terlepas begitu saja dan memahami sifat dasar kemanusiawian manusia. Cerita mimpi yang menganggu pun terselesaikan dengan akhir yang melegakan serta mengembalikan diriku yang periang. Teman-teman asrama kami pun percaya dan tak akan merasa ketakutan lagi dengan hal-hal aneh yang bermunculan.  Menyelesaikan masalah sendiri adalah jalan terbaik menuju kemandirian dari kejadian ini diberilah kami julukan, Adinda Permata dan Tiah Oktariani sebagai “Gadis Perangkai Mimpi” Kini cerita mimpi yang kami rangkai, ternyata dulunya pernah menjadi kisah nyata yang belum terungkap  dan sekarang telah menjadi cerita yang akrab ditelinga masyarakat sekitar asrama kami.
Tamat

No comments:

Post a Comment