Monday, 6 October 2014

Senja yang Bersinar



Asri Insani MR
   Waktu yang sangat singkat, kecerobohan merubah segalanya menjadi seperti ini. Kamu yang sudah tidak seperti dulu lagi, kamu yang super duper cuek entah karena apa itu, kamu yang sampai sekarang selalu membuatku bingung. Bingung dengan perubahan sikap kamu yang seperti ini.
Segalanya berubah, sangat berubah saat kata itu terucap. Sifat kekanak-kanakanku yang selama ini membuatmu gerah. Sifat cerobohku yang akhirnya menghancurkan kita. Kita yang awalnya sangat dekat dan tiba-tiba sangat jauh seperti ini bagaikan matahari dan bulan yang tidak akan pernah bisa bertemu di satu tempat yang sama. Kita yang akhirnya tidak saling menyapa satu sama lain. Kita? Iya kita, setidaknya sebelum semuanya mendadak berubah seperti ini.
Air mata ini selalu saja menetes tatkala mengingat masa-masa kita dulu. Disaat kita saling bercengkrama, saat kita tertawa bersama, saat kita bertengkar, saat kamu berusaha menghibur ditengah kesedihanku, saat kamu perhatian, saat kamu bilang Aku sayang kamu.” Semuanya seakan hilang. Hilang karena sifat cerobohku yang membuatmu jauh dan semakin jauh. Maaf, kata yang selalu terucap saat mengingat kesalahanku dulu. Maaf telah membuatmu kecewa. Maaf atas sifatku yang sangat tidak dewasa ini.
            Teringat beberapa tahun lalu disaat kamu mulai menyatakan perasaan kamu. Kamu bilang sayang. Senang, nervous, malu, gemetar. Seakan berbaur menjadi satu. Malam yang dipenuhi dengan gemerlapnya bintang seakan menambah indahnya suasana malam itu. Dinginnya malam seakan menjadi saksi kebahagiaanku waktu itu. Tapi sekarang sudah berbeda, kita sudah tidak saling bicara lagi.
...
            Aku tinggal di sebuah sekolah yang berasrama. Intensitas pertemuan dengan orangtuapun sangat minim. Tapi itu semua tidak menyurutkan semangatku untuk tetap belajar dan membanggakkan kedua orangtuaku. Sekarang aku sudah kelas tiga SMA. Itu artinya tidak lama lagi aku akan meninggalkan sekolah ini. Sekolah yang menyisahkan berbagai macam kenangan yang sangat sulit kulupakan. Termasuk kenanganku bersamanya. Aku sangat ingat, waktu itu aku masih kelas satu SMA.
“Rin, pulang yuk!” Ucap Rima sembari menarik tanganku.
“Kamu pulang duluan aja, entar nyusul kok.”
“Ya sudah, cepetan yah. Laper nih!” Kata Rima sambil berlalu meninggalkanku.
“Siip, tenang aja.”
            Aku berjalan menyusuri satu persatu ruang kelas yang sudah kosong. Aku melihat jam tanganku dan ternyata sekarang sudah pukul 14.02 aku bergegas pulang ke asrama karena sore nanti aku harus kembali lagi ke sekolah untuk kegiatan ekskul.
            “Kok belum pulang?”
 Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku berbalik melihat siapa yang tiba-tiba mengagetkanku.
“Kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Ditanya kok malah balik nanya.” kata Eza sambil berjalan ke arahku.
“Hem, iya iya. Tadi ada tugas yang mendesak jadi aku harus tinggal dulu. Kamu?”
“Aku tertidur, terus nggak ada yang ngebangunin. Baru nyadar ternyata sudah jam segini.”
“Dasar kamu, di mana-mana kalau orang ke sekolah yah mau belajar. Eh, malah tidur. Gimana sih!”
“Tadi malam aku kerja tugas, jadi lupa tidur deh. Oh iya, pulang yuk. Laper nih, dari tadi perutku sudah minta makan!” Ucapnya sembari menarik tanganku.
Aku hanya bisa tertawa mendengar gurauannya. Dia memang lucu, sangat lucu. Dia yang bisa membuatku tertawa lepas seperti ini. Dia yang bisa membantuku melupakan sejenak bebanku seharian ini. Dia Eza, anak dari kelas sebelah. Tapi tidak jarang dia membuatku kesal.
...
Aku terbangun dengan suasana hati yang sangat tidak baik. Bagaimana tidak, hari ini ada pemeriksaan Jumatan. Bisa mati aku kalau sampai terlambat. Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh.
“Waduh, bahaya nih... bisa kena hukuman lagi!” Gumamku dalam hati
Tepat pukul setengah delapan aku sampai di depan pintu gerbang.  Mengendap-endap, melihat kiri kanan, dan berlari menuju kelas.
“Syukurlah, Pak Suryo belum datang.” Kataku sambil mengusap-usap dada.
Pak Suryo itu salah seorang guru killer  di sekolah. Terlambat satu detik saja, hukumannya sudah Astagfirullah banget. Merinding bulu kudukku kalau berpapasan dengannya. Lihat kumisnya saja sudah bikin nyali ciut.
...
Jam pelajaran telah usai. Seperti biasa, aku kembali ke asrama dengan berbagai tugas yang memintaku untuk segera mengerjakannya. Tapi ada yang aneh dengan sikap Eza. Mendadak baik banget, malah nggak pernah usil seharian ini. Aku berjalan sambil memikirkan sikap anehnya itu.
“Rin ...”
Aku berbalik mencari tahu siapa yang memanggilku barusan.
“Oh kamu rupanya. Ada apa, Za?”
“Entar malam kamu datang ke sekolah nggak?”
“Yah jelas dong, Za! Kan entar ada belajar malam. Masa nggak datang. Emang kenapa?”
“Aku pengen bilang sesuatu sama kamu.”
“Emangnya mau bilang apa? Kayaknya penting nih!”
“Tunggu entar malam aja yah, aku belum bisa ngomong sekarang.” Katanya diselingi dengan senyuman yang selalu membuatku tenang melihatnya.
“Ya sudah deh, duluan yah. Soalnya banyak tugas nih.”
Aku berlalu meninggalkannya yang ternyata masih saja sibuk memperhatikanku. Ada yang aneh dengan anak itu. Kira-kira dia mau bilang apa? Terus kenapa harus nunggu entar malam? Kenapa nggak sekarang aja?
“Hey... kok bengong aja, Neng?” Tanya Fini mengagetkanku.
“Enggak kok, cuman mikir aja!”
“Emang mikir apaan sih? Kok serius banget?”
“Kamu tahu nggak, nanti malam aku diajak ketemuan sama Eza.”
“Emang mau ngapain? Ciyeee... mau ngapain hayoo?”  Kata Fina sambil mencolekku.
“Aku juga nggak tahu dia mau bilang apa. Cuman ngajak ketemuan aja.”
“Hem... Jangan jangan Dia...”
“Jangan jangan apa? Jangan mikir yang macem-macem keles”
“Yah enggak, cuman nebak aja. Kan nggak ada salahnya nebak-nebak!”
...
            Usai belajar malam, aku bergegas pulang ke asrama. Tapi teman-teman yang lain malah ngelarang pulang, katanya sih ada yang penting.
            “Emangnya ada apa sih? terus kenapa aku dilarang pulang?”
            “Tunggu lima menit dulu yah,  Please!” ucap Risa sambil menahanku.
“Iya, tapi untuk apa? Kamu tahu nggak, banyak yang harus aku kerjakan malam ini.”
Ditengah pembicaraanku dengan Risa, tiba-tiba Eza datang menghampiri kami dengan wajah yang sangat serius.
“Maaf sudah bikin kamu menunggu, Rin.”
“Oh nggak papa kok. Memangnya ada apa sih?”
“Sebenarnya aku pengen bilang sesuatu sama kamu. Mungkin agak cepat dan tiba-tiba. Tapi jujur ini sudah lama aku pendam. Sebenarnya aku sayang kamu. Kamu mau nggak jadi pacar aku?” Katanya sambil menatap mataku, sangat dalam.
Aku bingung, aku nggak tahu harus jawab apa. Sejenak aku terdiam memikirkan apa yang akan keluar dari mulutku untuk menjawab pertanyaannya tadi. Tiba-tiba kelas yang awalnya sepi. Hanya aku, Eza, dan Risa. Mendadak ramai dipenuhi teman-teman yang waktu itu belum pulang ke asrama.
Aku makin bingung harus jawab apa. Aku juga takut mengecewakan Eza. Tidak terasa hampir setengah jam sudah dia menunggu jawabanku. Dengan terbata-bata aku memberanikan diri untuk menjawabnya. Akhirnya aku menerimanya walaupun dengan sedikit paksaan dari teman-teman yang lain.
Waktu semakin berlalu, hubungan kamipun semakin harmonis saja. Aku juga sudah mulai sayang sama dia. Dia selalu perhatian, dia selalu mengerti dengan sikap dan sifatku yang kadang tidak dewasa. Aku bersyukur punya dia. Dia yang selalu menyayangiku. Tapi semua itu tidak berlangsung lama.
Tiga bulan berjalan, selalu saja bertengkar. Selalu ada saja yang membuat kami berselisih paham. Mungkin itu semua juga karena sifatku yang masih kekanak-kanakan. Aku selalu saja menganggap bahwa aku yang paling benar. Dan akhirnya hubungan kami harus berakhir. Sedih, sangat sedih. Tapi ini semua salahku dan aku yang harus menanggung semuanya. Termasuk jauh darinya.
Semakin hari kami semakin jauh. Dia semakin cuek. Tidak ada sapaan lagi. Tidak ada canda tawa lagi. Tidak ada senyumnya lagi. Dan tidak ada kebersamaan kami lagi. Semuanya benar-benar berakhir.
...
Waktu berlalu sangat cepat, tidak terasa sekarang aku sudah kelas tiga SMA. Sebentar lagi aku akan meninggalkan sekolah yang penuh dengan kenangan ini. Beberapa bulan lagi Ujian Nasional akan dilaksanakan. Tetapi ada saja yang mengganjal dalam benakku. Sampai detik ini aku belum akur sama Eza. Sudah setahun lebih kami tidak pernah saling bicara.
Setiap hari aku hanya bisa melihatnya dari jauh, tanpa ada yang tahu kalau aku sedang memperhatikannya. Kami selalu bertemu, tapi tidak pernah sekalipun saling menyapa.
...
 Hingga akhirnya pengumuman kelulusan telah tiba. Kami merayakannya dengan menggelar syukuran sederhana dengan penuh suka cita di rumahku, kebetulan hari itu bertepatan dengan ulang tahunku. 
Aku berbalik kesana kemari berharap menemukan sosok Eza yang sudah beberapa bulan ini tidak kutemui. Aku sangat berharap bisa baikan lagi sama dia. Acara hampir selesai tapi dia tak kunjung datang juga. Kemana kamu, Za? Apa sebenci itu sampai kamu tidak mau datang?
Aku mencoba menghubungi nomor handphonenya, tapi tidak aktif. Aku mulai gelisah, tidak biasanya dia seperti ini. Perasaanku mulai tidak enak. Entah kenapa aku terus memikirkannya. Ada apa dengan kamu, Za? kenapa perasaanku tdak enak begini? Ditengah kegelisahanku, tiba-tiba handphoneku berdering.
“Assalamualaikum. Apa benar ini dengan nak Airin?”
“Iya benar, maaf ini dengan siapa yah?”
“Ini mamanya Eza, Nak.”
“Oh iya, ada apa tante?”
“Eza kecelakaan, Nak. Jasadnya belum ditemukan sampai sekarang.”
Aku diam terpaku mendengar apa yang dikatakan mamanya Eza barusan. Tak kusadari air mataku perlahan menetes. Aku terjatuh tak sadarkan diri.
...
Entah apa yang terjadi saat itu, aku tak sadarkan diri. Sesaat setelah itu aku terbangun dan melihat banyak orang disekelilingku. Yang lebih anehnya aku melihat Eza berdiri tepat disampingku sambil memegang kue ulang tahun.
Happy birthday to you...
Happy birthday to you...
Happy birthday, happy birtday...
Happy birthday Airin
Air mataku kembali menetes. Walaupun agak kesal karena dibohongi, aku tetap bersyukur. Yah, sangat bersyukur dengan surprise party dari mereka semua. Satu persatu menyalamiku sambil mengucapkan selamat, termasuk Eza.
“Selamat ulang tahun yah, Rin! Mungkin ini hadiah yang sangat sederhana, tapi aku harap kamu suka.” kata Eza sambil memberikan sebuah bingkisan kecil.
Iya makasih, Za!”
...
Aku mencoba membuka bingkisan kecil yang diberikan Eza. Sebuah buku harian yang berwarna biru dengan hiasan pita kecil ditengahnya. Aku kembali melihat kotak itu dan aku menemukan kartu ucapan yang bertuliskan.

Buku harian ini aku berikan padamu agar kamu semakin rajin menulis. Sekalipun hanya kegiatan harianmu. Tapi aku berharap kamu akan selalu menuliskan kisahmu dibuku ini, dan semoga cita-citamu untuk menjadi seorang penulis besar bisa terwujud. Aamiin...
Eza

Terimakasih Tuhan. Sudah memperbaiki hubungan persahabatan kami lagi. Aku janji tidak akan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Aku janji!
*Selesai*

2 comments: