Oleh: Amriani Sakra
Hujan turun mengguyur kota kecil itu,
suara teriakan anak kecil yang berlarian dari arah sungai terdengar merdu
bersama suara air hujan yang terjatuh di tanah. Kaki-kaki kecil itu terus
beralari dan berlari dengan sesekali melompat sambil berteriak kegirangan.
Senyum indah mengembang di wajah mereka, sesekali tertawa, sesekali berteduh di
bawah pohon, sesekali berteriak lepas...
benar-benar masa kanak-kanak yang akan dirindukan.
“Nina... tutup pintunya Nak, hujannya semakin deras”
“Iya Bu...”
“Anak-anak itu lucu yah, Bu”
“Lucu kenapa ?” ibu meletakkan secangkir susu hangat di
depan ayah
“Mereka semua bermain-main dibawah
hujan sambil tertawa, padahal baju mereka sudah basah dan penuh lumpur. Tapi
mereka tetap terlihat senang tak punya beban apapun.”
“Anak-anak memang seperti itu, apapun
dianggap lucu dan menyenangkan. Kalau sudah bermain pasti lupa waktu” Ayah
meneguk susu hangatnya sekali lagi.
“Dulu Nina juga seperti itu, kalau sudah main pasti lupa
waktu”
“apa semua anak kecil seperti itu Bu ?”
Ibu hanya tersenyum lalu menatap ayah yang juga
tersenyum.
Hujan semakin deras, kutarik selimut unguku dan mulai
merebahkan tubuh menuju indahnya alam mimpi yang semoga menghampiriku malam
ini.
***
Pukul 05.00 subuh aku telah terbangun dan bergegas
mengambil air wudu untuk menghadap pada-Nya. Bersama ayah dan ibu, aku khusuk
menjalankan tugas wajibku sebagai seorang muslim.
Pagi menjelang, sepeda usang yang tiada letih mengantarku
untuk menuntut ilmu dengan sabarnya melewati tanjakan berbatu dan penuh lubang.
Bersamanya sang sepeda usangku lewati jalan setapak berharap hari ini akan ku
raih berjuta ilmu.
Seperti biasanya, aku bertemu dengan Airin di
persimpangan jalan. Bersama-sama kami berangkat menuju sekolah yang kini berjarak
satu kilometer. Sapaan hangat tak pernah terlewatkan teman seperjuangan yang
selalu menapaki langkah demi langkah bersamaku.
Namun,
hari ini mungkin hari yang tak cukup baik untuk Airin dimulai dari ban sepeda
Airin yang tertusuk paku hingga kami terlambat datang ke sekolah, bekal makan
siangnya yang tertinggal di rumah sampai mendapat omelan dari guru.
Tapi
bukan hanya Airin yang mengalaminya, tapi juga aku.
Kami berteman sejak kelas empat. Lalu ketika masuk di SMP
juga sekelas. Awal kedekatan kami berdua tak cukup baik karena sifat kami yang
sama-sama pendiam dan sulit beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Tapi...
itulah yang kemudian menumbuhkan chemistry
di antara kami berdua.
***
Senin, 12 juli 2005
Aku mulai risih dengan tatapan gadis yang menggunakan
kalung dari kertas karton dan diberi sebuah tali untuk rantainya dan
bertuliskan “bebek” yang sepertinya sejak tadi menatapku dengan sinis. Ia duduk
seorang diri, mungkin cukup sulit baginya mencari teman sama halnya denganku.
Kesan pertama bertemu dengannya ia SINIS, ia MENYEBALKAN, dan ia sangat-sangat
tidak SOPAN.
Pengumunan penempatan kelompok guguspun dimulai,
terdengar namaku disebut oleh seorang kakak kelas dan dilanjutkan dengan
nama-nama lain yang juga segugus denganku. Tak sengaja telingaku mendengar
sebuah nama disebutkan “Airin Saputri, digugus empat” seorang anak perempuan
berjalan menuju ke arah anggota gugus empat berkumpul. “Oh..., jadi namanya
Airin” gumamku.
“Bagaimana hari pertamanya MOS-nya Nak ?” ibu bertanya
penasaran.
“Menyenagkan Bu” balasku
“Sudah mendapatkan teman?” ku goyangkan kepalaku ke kanan
dan ke kiri isyarat tidak.
“Nanti juga punya, Nina harus bisa beradaptasi dengan
lingkungan yang baru”
“Iya Bu”
Hari ini cukup melelahkan, setelah berganti pakaian dan
makan siang aku bergegas mengumpulakan enegiku yang telah terkuras habis hari
ini. Sebelumnya aku telah berpesan pada ibu bahwa hari ini aku tak ingin di
ganggu dan ingin tidur, untungnya ibu sangat mengerti.
Setelah puas memejamkan mata selama empat jam aku
bergegas mengambil air wudu untuk shalat asar yang belum sempat kulakukan
sepulang sekolah tadi akibat kelelahan.
Tiga hari MOS telah terlewatkan. Benar-benar menjadi hari
yang panjang sebelum memulai masa-masa SMP-ku. Suasana ruang kelas SMP
benar-benar berbeda dengan masa SD dulu, ini sangat menyenangkan. Satu persatu
teman sekelasku berdatangan dan mengambil kursi sesuai keinginan mereka semua.
Aku
berjalan menuju sebuah meja di barisan kedua di dekat tembok ruang kelas, tapi
kulihat telah ada sebuah tas berwarna pink disana “Ah... padahal ini tempat
yang paling kuinginkan”.
Akhirnya
kuputuskan untuk duduk dibangku ketiga meskipun dengan rasa sedikit kecewa.
Suasana kelas semakin ramai, semua penghuni kelas telah
lengkap. Dihadapanku duduk seorang wanita dengan rambut hitam sebahu yang
sedari tadi tak bersuara sedikitpun, tingkahnya sedikit aneh pikirku. Ternyata
ia gadis menyebalkan yang menatapku sinis hari itu dan kini ia duduk di tempat
yang sangat kuinginkan. Penilaianku padanya semakin tak baik setelah hampir
seminggu hidup sekelas dengannya.
Satu bulan dua bulan pun berlalu, masa SMP yang
menyenangkan kusambut dengan suka cita. Keakraban antara kami sesama penghuni
kelas semakin terasa. Hari ini pak Risal memberi tugas kelompok membuat sebuah
peta dari kertas bekas dan harus dikumpulkan empat hari kemudian.
Sepulang sekolah setelah berganti pakaian dan berpamitan
dengan ayah dan ibu, kukayuh sepeda usangku dengan penuh semangat. Setelah
hampir dua puluh menit menyusuru jalanan berbatu akhirnya kusampai disebuah
rumah berwarna biru muda dengan pagar berwarna biru putih, rumah itu tampak
sepi tak berpenghuni. Sepeda usang yang setia mengantarkanku kemana saja ku
ajak memasuki pekarangan rumah yang tak begitu luas itu.
“Assalamualaikum....” Aku ketuk pintu kayu dihadapanku.
Terdengar sebuah langkah mendekati pintu.
“Waalaikumsalam...” seorang gadis sebaya denganku dengan
rambut sebahu yang terurai berdiri dihadapanku. Kami berdua duduk di teras
rumah itu menunggu teman yang tak kunjung datang. 30 menit, satu jam, bahkan
hampir dua jam kami menunggu dalam keheningan namun tak ada yang datang.
“Kenapa mereka belum datang?” Aku coba mencairkan suasana
yang sedari tadi sangat beku.
“Mungkin hari tak jadi” jawabnya singkat
“Tapi...”
“Kalau kamu mau pulang silahkan saja. Biar aku yang
menyelesaikannya”
“Tidak! tidak bisa begitu, ini tugas kita semua bukan
hanya tugas kamu. Aku akan tinggal mengerjakannya sampai selesai meskipun
mereka tak datang” aku semakin jengkel padanya, ia hanya diam dan terus diam.
Tugas membuat peta itupun kami selesaikan setengahnya
berdua dalam diam, tak ada suara yang berasal dari mulut kami. Hanya suara
kicau burung dan dedaunan yang tertiup angin. Sampai akhirnya kami sama-sama
menemui kesulitan untuk mencocokkan warna yang sesuai untuk peta dihadapan
kami. Untuk mempermudah memilih warna kugoyangkan tubuhku mendekat kearah
tumpukan spidol warna yang terletak tak jauh dari gadis menyebalkan itu. Aku
semakin bingung, tak jarang ku menggaruk kepala.
“Mungkin warna ini lebih cocok” dua buah sidol berwarna
coklat tua dan muda ia berikan padaku.
“Oh iya, sepertinya warna ini cocok”
“Biar aku saja yang memberi warna dibagian luarnya”
“Kalau begitu aku yang dibagian dalamnya”
Dengan lincah tangan kami mewarnai bagian demi bagian
peta dunia yang terbendang di hadapan kami berdua. Tak butuh waktu lama, dalam
dua jam peta itu telah terselesaikan oleh dua pasang tangan gadis cantik.
“Aaahhh akhirnya....”
“Ini tidak buruk”
“Iya, besok siap untuk dipresentasikan”
“Tapi, kenapa mereka tidak datang ?”
“Mungkin ada hal penting yang mendesak”
“Aku sedikit khawatir. Tapi, ah sudahlah.. yang jelas
peta ini telah selesai” sejenak aku memerhatikan rumah ini, mengapa tampak
sangat sepi? seperti tak berpenghuni padahal sudah sore.
“Kamu sendirian ?” lanjutku
“Emm” menganggukkan kepalanya
“Orang tuamu kemana ?”
“Kenapa kamu sangat ingin tau ?”
“Ahh akuu...” waah orang ini benar-benar menyebalkan pikirku.
Hari semakin sore langit pun akan segera berubah warna
menjadi orange keemasan, butuh waktu lebih dari sepuluh menit untuk tiba di rumah,
setelah berpamitan dan membereskan hasil kerja kami berdua segera Aku kayuh si
Ungu yang usang.
Pagi menyapa kembali, tiba waktunya untuk mempresentasikan
hasil kerja kami dihari kemarin, Ana salah seorang anggota kelompok kami
membukanya dengan sangat baik. Aku dan Airin sebagai pembicara utama, kami
berdua benar-benar tim yang sangat hebat dalam bidang ini.
Kemampuan
bicara Airin memang tak terkalahkan, ia benar-benar hebat dalam bidang ini.
Dengan fasih kami menyelesaikan tugas itu dan hasilnya benar-benar memuaskan
tepuk tangan dari seluruh penghuni kelas membuatku bangga pada diriku sendiri
dan juga pastinya pada Airin tanpanya hasil seindah ini tak mungkin kami capai.
“Kerjamu bagus” ini pertama kalinya aku melihat senyum
indah itu darinya. Wajahnya benar-benar cantik saat sedang tersenyum.
“Nina, Airin maaf kemarin kami tak datang... kemari
tiba-tiba saja Rian mendapat musibah jatuh dari sepeda saat akan kerumah Airin,
jadi kami semua mengantar Rian pulang. Maaf....” Ana menjelaskan alasan mereka
tak datang kemarin kerumah Airin dengan nada dan ekspresi bersalah.
“Sudahlah, lagi pula kita berhasil menyelesaikan tugas
ini dengan baik.”
“Apa Rian baik-baik saja ?” Airin kembali bercicara
“Hmm.. iya untungnya luka Rian tak parah”
“Syukurlah”
Aku termenung mendengar kata-kata Airin, ku pikir ia
orang yang sangat beku dan tak bisa mengkhawatirkan orang lain, tapi ternyata
aku salah... Airin bukan orang yang sebeku itu. ia hanya tak tau bagaimana cara
menunjukkan isi hatinya.
Sejak hari itu, aku lebih sering mendengar suara dan
melihat senyuman indah gadis itu, bahkan kami sering melewati hari bersama.
***
Setelah lulus SMP kami memutuskan untuk melanjutkan
pendidikan di SMA yang sama. Setiap hari dengan dua sepeda usang kami mengayuh
dengan penuh semangat berharap hari ini penuh dengan kecerian.
Tak sedikit orang yang bertanya mengapa kami bisa
berteman akrab dengan sikap Airin yang bagi sebagian orang sangat menyebalkan
dan sikapku yang selalu tak mau mengalah, meski sebagian orang terkadang lelah
melihat dan mendengarkan kami ketika sedang tak sejalan. Tapi itulah sebuah
pertemanana, tak ada pertemanan yang
dimulai dengan akraban yang sangat akrab namun akan dimulai dengan kisah-kisah
lucu tak terbayangkan yang kelak akan kita tertawakan bersama betapa konyolnya
sebuah pertemuan pertama yang menyimpan kesan berjuta makna.
Tak ada satu manusiapun yang sempurna, selalu ada cela di
setiap langkahnya namun celah itu akan senantiasa berjalan beriringan bersama
sebuah keistimewaan yang terkadang orang-orang tak mampu melihatnya dengan mata
bahkan diri kita sendiripun terkadang tak menyadarinya. Butuh sebuah
pengorbanan dan usaha tuk menemukan keistimewaan itu. seperti itulah aku dan
Airin, dibalik kekurangan kami berdua
ada sebuah keitimewaan yang berjalan berdampingan dengan kekurangan itu. hanya
saja orang-orang tak mampu melihat keitimewaan itu, namun aku... aku melihat
keistimewaan itu dalam diri Airin, keistimewaan yang tak dimiliki oleh orang
lain. Begitu pula sebaliknya, hanya Airin yang mampu benar-benar melihat sisi
lain dari seorang NINA ya, hanya Arin...
Entah sampai kapan kaki ini akan terus berjalan
beriringan dengannya, entah sampai kapan kami akan berjalan dijalur yang sama,
entah kapan takdir akan menunjukkan jalan berbeda yang harus kami daki seorang
diri, entah sampai kapan... kisah ini akan kami rajut. Kisah ini bukanlah
sebuah kisah istimewa tentang arti sebuah persahabatan yang rela berkorban
untuk seorang sahabat yang disayanginya, namun seperti apa realita hidup tuk
mencari sesosok teman yang kan ku sebut “SAHABAT” meski aku tak tau, meski aku
tak yakin.. ia kah orangnya? inikah sebuah persahabatan yang selalu dijunjung
tinggi oleh beberapa orang? inikah kisah luar biasa tentang arti seorang
sahabat? kurasa bukan... ini hanya kisah sederhana bagaiman rasa nyaman itu
hadir setelah perdebatan panjang. Inilah sebuah proses tuk saling mengenal dan
melihat diri orang lain. Inilah saat ketika aku harus melihat sosok lain dalam
diri seseorang tuk dapat mengenal, bukan sekedar mengenal tapi benar-benar
mengenalnya...
Ia Arin, kawanku... bukan karena semua persamaan yang
menyatukan kami tapi sebuah kisah lucu tentang sebuah ketidaknyamanan hingga aku
dapatkan sebuah kenyamanan bersandar dan tinggal didirinya. Kisah yang akan
selalu kami rindukan, kisah penghibur lara saat gunda menyapa, kisah yang tak
dimiliki orang lain. Akankah kisah ini seperti sepeda usang yang selalu mengantar
dan menjadi saksi kisah ini? yang bertahan hingga akhir, yang meski telah usang
namun tetap penuh makna.. meski telah usang namun semangatnya tak pernah pudar.
Semoga saja....
Ini bukan kisah hebat tapi inilah
realita pencarian seorang kawan yang dimulai dari titik terendah dan semoga
akan selamanya berjalan bersama untuk mencapai titik tertinggi....
No comments:
Post a Comment