Wednesday, 11 March 2015

TAKKAN PISAH

Ajeng Kartini Mas’ud
Pagi ini matahari baru muncul dari ufuk Timur. Kaca jendela rumahku masih ditutupi oleh embun, suasana dingin menyelimutiku sampai menusuk tulang. Pagi ini rasanya aku malas meninggalkan tempat tidurku dan beranjak ke sekolah. Kalau tidak dibangunkanhn paksa oleh Ibu, aku bakalan bangun siang. Seperti biasanya ayah mengantarku ke SMA yang cukup terkenal di Bandung. Sesampainya di gerbang cepat-cepat aku berlari menuju kelas. Dan ternyata aku terlambat.
“Huh… masih harus naik dua anak tangga lagi, bakalan terlambat nih!” Ucapku dengan nafas tersendak.
Sesampainya di pintu kelas, ternyata Bu Murni sudah mengabsen muridnya dari tadi. Bu Murni yang melihatku di luar kelas tiba-tiba menutup pintu dan tidak memperbolehkanku masuk. Dengan langkah lunglai aku duduk di bangku depan kelasku dan menunggu sampai pelajaran biologi selesai.
“Aduh, sial banget sih aku hari ini. Harusnya tadi tak usah pakai acara sarapan dulu di rumah” Ucapku menyalahkan diriku sendiri
Tak lama kemudian dari kejauhan aku melihat seorang anak laki-laki berlari kencang. Ku tajamkan penglihatanku.
“Astaga! Itu kan Andi! Jadi dia telat juga”  Teriakku dalam hati.
Andi adalah teman yang paling pintar di kelasku. Dia itu orangnya nyebelin sekaligus cowok yang kusukai semenjak aku duduk di depannya. Sekarang dia sudah berada di depanku.
“Bu Murni sudah masuk kelas?” Tanyanya dingin.
Aku hanya mengangguk terpaksa. Dasar! Mau nanya aja sikapnya udah angkuh begitu, pikirku dalam hati. Dia pun duduk di bangku sebelahku dan menunggu sampai bel pelajaran pertama usai. Sepuluh menit kami diam tanpa bicara. Akhirnya aku mengajak dia ngobrol, sekaligus bertanya tentang soal matematika, karena dia memang paling jago matematika di kelasku.
“Eh, kamu udah ngerjain tugas matematika belum? Boleh nanya ngak?” Tanyaku berburu
“Sudah, kamu mau tanya? Maaf aku lagi sibuk!” Jawabnya setia dengan sikap dinginnya.
Huh, sibuk apanya. Dari tadi juga main hp, bilang aja ngak mau bantuin,” kataku dalam hati berontak. Sampai bel pelajaran usai kami pun masih dengan sikap dingin.
Kriiiiiiiiiiiing…
Bu Murni bergegas meninggalkan kelas. Aku dan Andi segera masuk dan duduk di tempat duduk kami. Saat pelajaran matematika dimulai dia masih tetap dengan dirinya yang menjengkelkan.
”Sssst… Andi, tunjukkin rumus yang nomor dua dong”, Pintaku memohon.
“Nomor dua? Masa nomor dua aja kamu gak tau sih. Pasti kamu ngak perhatikan guru menerangkan tadi kan? Kamu cari aja di buku! Salah kamu sendiri gak merhatin”. Jawabnya sangat angkuh
Bukannya membantu dia malah marah-marah gak jelas. Begini jadinya aku sekarang terbawa susasana tadi karena ulahnya. Kenapa dia makin hari, makin menjengkelkan. Harus, amarah ini berlanjut sampai aku pulang di rumah.
Andi kenapa, kenapa dia jadi orang yang jahat, atau itu memang sifat aslinya. Aku doa-in musibah menimpanya.
Tak ada selang waktu kutuk-kan doa itu terbalas di diriku sendiri. Aku pun terjatuh di tepi jalan. Hanya satu kata yang mampu ku lontarkan saat itu, SAKIT. Rasa sakit yang cukup berat akibat kejailanku sendiri mendoakan orang yang tidak-tidak, ditambah lagi di sini taka da satupun orang yang bias membantu, SAKIT.
Tiba-tiba…
 “Heh! Mau berapa lama kamu diam disitu? Ucap seseorang di belakangku.
Ku balikkan pandanganku, ternyata suara itu adalah Andi.
 “Bisa berdiri ngak?” Tanyanya seolah perhatian.
Berusaha kugerakkan kakiku, rasanya sakit sekali. Ternyata dia mengerti keadaanku. Ia langsung memapah tubuhku dan menggendongku ke belakang. Aku kaget, baru kali ini aku digendong sama cowok. Apalagi cowok itu adalah cowok yang selama ini aku sukai. Mimpi apa aku semalam, meskipun dia menjengkelkan, tapi itu tidak pernah mengurangi rasa sukaku dengannya.
“Eh, rumah kamu dimana sih, di dekat sini ya?” Tanyaya mencoba mencairkan suasana di perjalanan.
“Iya, di perumahan sana belok kiri, terus di pertigaan jalan belok kanan. Nyampe deh”, Ujarku dengan bahagia.
“Oh, terus kenapa kamu bisa jatuh tadi? Dasar bego!” Tanyanya mengejek.
“Gak kok, tadi cuma kepeleset aja” Jawabku penuh kebohongan.
Tak mungkin aku jujur, kecelakaan kecil tadi karena pikiranku dipenuhi olehnya.
“Andi, aku mau tanya, kok kamu sentimen sih sama aku tadi di sekolah. Aku kan cuma tannya baik-baik, jawabnya malah ketus begitu, Kan kita bisa jadi temen dekat” Kataku seolah tak sadar memohon kepada seorang laki-laki.
“Soal yang itu aku minta maaf deh! Tadi aku serius ngerjain soal malah kamu ganggu .” Katanya memperjelas
“Serius nih? Berarti kita udah temenan kan?” Ucapku berseri-seri
“Terserah apa kata kamu deh. Nih udah nyampe. Badan kamu kecil tapi beratnya minta ampun.” Ujar pelannya sambil menurunkanku dari gendongannya
 Aku pun nyengir dan cuma bilang makasih dengannya. Dengan jalan terpincang pincang aku masuk ke rumah. Hari yang tak terlupakan dengan beribu kesenangan.
  Semenjak kejadian itu sikap Andi kepadaku berubah. Kami jadi akrab. Main bareng-bareng, jajan bareng-bareng, belajar bareng-bareng, tidurpun bareng-bareng, jelas point itu tidk mungkin. Tapi semenjak sebulan terakhir, Andi menghindariku dan tidak mau main denganku. Sampai suatu hari aku melihatnya bergandengan tangan dengan seorang cewek berkulit putih dan cantik di depan gereja seusai dia berdo’a. Jelas hal itu membuat hatiku hancur remuk berantakkan.
Ketika malam tiba, doa menjadi penyambut…
Ya Allah, salahkah bila aku tulus mencintainya? Aku tau kami berbeda keyakinan. Tapi aku tak bisa bohong kalau selama ini rasa sayang ini semakin bertambah. Aku mencintainya hanya karena-Mu Ya Allah. Jikalau kami berjodoh nanti maka dekatkanlah kamu,” Lantunan doa ku panjatkan dengan khusyuk.
Seminggu berlalu, Andi tidak masuk sekolah. Kudengar kalau dia masuk rumah sakit. Sorenya ketemui dia di rumah sakit. Aku terkejut melihat kepalanya yang sedikit botak.
“Andi, kamu kok sebulan ini menghindari aku sih? Terus kok bisa di rawat di rumah sakit? Sakit apa?” Tanyaku berhamburan cemas.
Kemudian, dia memegang tanganku. Aku kaget, sangat-sangat kaget, tapi tidak ku tolak tangannya yang kini mengenggam erat tanganku.
“Tini, aku pengen ngomong jujur ke kamu. Sebenarnya aku menghindari kamu biar bisa ngilangin perasaan suka aku ke kamu. Aku sayang sama kamu!” Ujarnya pelan seolah meyakinkan.
Aku kaget bukan main. Jantungku berdetak kencang. Andi… Suka sama aku? Impossible!
“Ah, kamu. Jangan bercanda? Sudah sakit masih sempat-sempatnya bercanda” Ucapku tanpa rasa percaya sedikit pun
“Ngak, aku gak sedang bercanda. Aku suka sama kamu. Aku menghindari kamu karena kita berbeda keyakinan. Dan aku  tahu itu kesalahan besar. Tapi aku gak bisa bohong dan menutupi rasa sayang aku ke kamu. Dan juga sekarang aku terkena penyakit Kanker otak semenjak aku duduk di bangku SD. Aku gak mau nyusahin kamu karena penyakit gue ini” katanya.
Apa! Andi kena kanker? Rasanya aku ingin sekali menangis.
“Andi, aku tahu kita gak seiman. Aku meyakini Allah SWT sebagai Tuhanku dan kamu menyakini Isa Al-Masih sebagai Tuhanmu. Tapi hendaknya jika kalau kita berjodoh, Tuhan gak bakalan misahin kita dengan penyakitmu ini” Ujarku lembut mencoba meyakinkan.
“Tini, udah jangan nangis. Aku gak suka liat kamu nangis,” Katanya sambil menghapus air mataku.
“Makanya jangan buat aku nangis dong, kamu harus kuat. Andi , yang aku kenal kamu itu cowok yang kuat dan ngak pernah mau kalah” Kataku sambil tersenyum memberinya semangat hidup.
“Tini, kamu mau gak nurutin permintaan ku. Satuuuu aja”, pintanya.
 “Tolong kamu ajari aku sholat, aku tau kita pasti bisa bersama jika kita satu keyakinan. Sekarang umurku udah 18 tahun. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Mama-Papa pasti megizinkan aku masuk agama Islam. Dan aku mencintaimu hanya karena Allah,” Katanya dengan kondisi lemas.

Aku terkejut karena disaat keadaannya seperti itu dia malah minta diajarin sholat dan ingin masuk islam. Aku pun membantunya berdiri dan mengajarkan berwudhu. Lalu mengajarinya sholat. Setelah itu sayup-sayup kudengar dia mengucapkan “Asyhadu an-laa ilaaha illallaa, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah”. Aku kaget bukan main. Ternyata dia hafal DUA kalimat syahadat tanpa kuketahui sebelumnya. Dan disaat itu pula nafasnya berhenti dan meninggalkanku selamanya. Aku menangis sekeras-kerasnya. Tapi aku tau, ini sudah takdir Allah. Aku tak boleh menyesalinya. Andi adalah cowok pertama yang mengenalkanku apa artinya cinta dan kasih sayang juga kewajibanku sebagai seorang Muslim.

No comments:

Post a Comment