Ajeng Kartini Mas’ud
Pagi ini matahari baru
muncul dari ufuk Timur. Kaca jendela rumahku masih ditutupi oleh embun, suasana
dingin menyelimutiku sampai menusuk tulang. Pagi ini rasanya aku malas meninggalkan
tempat tidurku dan beranjak ke sekolah. Kalau tidak dibangunkanhn paksa oleh Ibu,
aku bakalan bangun siang. Seperti biasanya ayah mengantarku ke SMA yang cukup
terkenal di Bandung. Sesampainya di gerbang cepat-cepat aku berlari menuju
kelas. Dan ternyata aku terlambat.
“Huh… masih harus naik
dua anak tangga lagi, bakalan terlambat nih!” Ucapku dengan nafas tersendak.
Sesampainya di pintu
kelas, ternyata Bu Murni sudah mengabsen muridnya dari tadi. Bu Murni yang
melihatku di luar kelas tiba-tiba menutup pintu dan tidak memperbolehkanku
masuk. Dengan langkah lunglai aku duduk di bangku depan kelasku dan menunggu
sampai pelajaran biologi selesai.
“Aduh, sial banget sih
aku hari ini. Harusnya tadi tak usah pakai acara sarapan dulu di rumah” Ucapku
menyalahkan diriku sendiri
Tak lama kemudian dari
kejauhan aku melihat seorang anak laki-laki berlari kencang. Ku tajamkan
penglihatanku.
“Astaga! Itu kan Andi!
Jadi dia telat juga” Teriakku dalam hati.
Andi adalah teman yang
paling pintar di kelasku. Dia itu orangnya nyebelin sekaligus cowok yang
kusukai semenjak aku duduk di depannya. Sekarang dia sudah berada di depanku.
“Bu Murni sudah masuk
kelas?” Tanyanya dingin.
Aku
hanya mengangguk terpaksa. Dasar! Mau nanya aja sikapnya udah angkuh begitu,
pikirku dalam hati. Dia pun duduk di bangku sebelahku dan menunggu sampai bel pelajaran
pertama usai. Sepuluh menit kami diam tanpa bicara. Akhirnya aku mengajak dia ngobrol,
sekaligus bertanya tentang soal matematika, karena dia memang paling jago
matematika di kelasku.
“Eh, kamu udah ngerjain
tugas matematika belum? Boleh nanya ngak?” Tanyaku berburu
“Sudah, kamu mau tanya?
Maaf aku lagi sibuk!” Jawabnya setia dengan sikap dinginnya.
Huh,
sibuk apanya. Dari tadi juga main hp, bilang aja ngak mau bantuin,”
kataku dalam hati berontak. Sampai bel pelajaran usai kami pun masih dengan
sikap dingin.
Kriiiiiiiiiiiing…
Bu Murni bergegas meninggalkan
kelas. Aku dan Andi segera masuk dan duduk di tempat duduk kami. Saat pelajaran
matematika dimulai dia masih tetap dengan dirinya yang menjengkelkan.
”Sssst… Andi, tunjukkin
rumus yang nomor dua dong”, Pintaku memohon.
“Nomor dua? Masa nomor
dua aja kamu gak tau sih. Pasti kamu ngak perhatikan guru menerangkan tadi kan?
Kamu cari aja di buku! Salah kamu sendiri gak merhatin”. Jawabnya sangat angkuh
Bukannya membantu dia
malah marah-marah gak jelas. Begini jadinya aku sekarang terbawa susasana tadi
karena ulahnya. Kenapa dia makin hari, makin menjengkelkan. Harus, amarah ini
berlanjut sampai aku pulang di rumah.
Andi kenapa, kenapa dia
jadi orang yang jahat, atau itu memang sifat aslinya. Aku doa-in musibah
menimpanya.
Tak ada selang waktu
kutuk-kan doa itu terbalas di diriku sendiri. Aku pun terjatuh di tepi jalan.
Hanya satu kata yang mampu ku lontarkan saat itu, SAKIT. Rasa sakit yang cukup
berat akibat kejailanku sendiri mendoakan orang yang tidak-tidak, ditambah lagi
di sini taka da satupun orang yang bias membantu, SAKIT.
Tiba-tiba…
“Heh! Mau berapa lama kamu diam disitu? Ucap
seseorang di belakangku.
Ku balikkan
pandanganku, ternyata suara itu adalah Andi.
“Bisa berdiri ngak?” Tanyanya seolah
perhatian.
Berusaha kugerakkan
kakiku, rasanya sakit sekali. Ternyata dia mengerti keadaanku. Ia langsung
memapah tubuhku dan menggendongku ke belakang. Aku kaget, baru kali ini aku
digendong sama cowok. Apalagi cowok itu adalah cowok yang selama ini aku sukai.
Mimpi apa aku semalam, meskipun dia menjengkelkan, tapi itu tidak pernah mengurangi
rasa sukaku dengannya.
“Eh, rumah kamu dimana
sih, di dekat sini ya?” Tanyaya mencoba mencairkan suasana di perjalanan.
“Iya, di perumahan sana
belok kiri, terus di pertigaan jalan belok kanan. Nyampe deh”, Ujarku dengan
bahagia.
“Oh, terus kenapa kamu
bisa jatuh tadi? Dasar bego!” Tanyanya mengejek.
“Gak kok, tadi cuma
kepeleset aja” Jawabku penuh kebohongan.
Tak mungkin aku jujur,
kecelakaan kecil tadi karena pikiranku dipenuhi olehnya.
“Andi, aku mau tanya, kok
kamu sentimen sih sama aku tadi di sekolah. Aku kan cuma tannya baik-baik, jawabnya
malah ketus begitu, Kan kita bisa jadi temen dekat” Kataku seolah tak sadar
memohon kepada seorang laki-laki.
“Soal yang itu aku
minta maaf deh! Tadi aku serius ngerjain soal malah kamu ganggu .” Katanya
memperjelas
“Serius nih? Berarti
kita udah temenan kan?” Ucapku berseri-seri
“Terserah apa kata kamu
deh. Nih udah nyampe. Badan kamu kecil tapi beratnya minta ampun.” Ujar
pelannya sambil menurunkanku dari gendongannya
Aku pun nyengir dan cuma bilang makasih dengannya.
Dengan jalan terpincang pincang aku masuk ke rumah. Hari yang tak terlupakan
dengan beribu kesenangan.
Semenjak
kejadian itu sikap Andi kepadaku berubah. Kami jadi akrab. Main bareng-bareng, jajan
bareng-bareng, belajar bareng-bareng, tidurpun bareng-bareng, jelas point itu
tidk mungkin. Tapi semenjak sebulan terakhir, Andi menghindariku dan tidak mau
main denganku. Sampai suatu hari aku melihatnya bergandengan tangan dengan
seorang cewek berkulit putih dan cantik di depan gereja seusai dia berdo’a. Jelas
hal itu membuat hatiku hancur remuk berantakkan.
Ketika malam tiba, doa
menjadi penyambut…
“Ya Allah, salahkah bila aku tulus mencintainya? Aku tau kami berbeda
keyakinan. Tapi aku tak bisa bohong kalau selama ini rasa sayang ini semakin
bertambah. Aku mencintainya hanya karena-Mu Ya Allah. Jikalau kami berjodoh
nanti maka dekatkanlah kamu,” Lantunan doa ku panjatkan dengan khusyuk.
Seminggu berlalu, Andi
tidak masuk sekolah. Kudengar kalau dia masuk rumah sakit. Sorenya ketemui dia
di rumah sakit. Aku terkejut melihat kepalanya yang sedikit botak.
“Andi, kamu kok sebulan
ini menghindari aku sih? Terus kok bisa di rawat di rumah sakit? Sakit apa?”
Tanyaku berhamburan cemas.
Kemudian, dia memegang
tanganku. Aku kaget, sangat-sangat kaget, tapi tidak ku tolak tangannya yang
kini mengenggam erat tanganku.
“Tini, aku pengen
ngomong jujur ke kamu. Sebenarnya aku menghindari kamu biar bisa ngilangin
perasaan suka aku ke kamu. Aku sayang sama kamu!” Ujarnya pelan seolah
meyakinkan.
Aku kaget bukan main. Jantungku
berdetak kencang. Andi… Suka sama aku? Impossible!
“Ah, kamu. Jangan
bercanda? Sudah sakit masih sempat-sempatnya bercanda” Ucapku tanpa rasa
percaya sedikit pun
“Ngak, aku gak sedang
bercanda. Aku suka sama kamu. Aku menghindari kamu karena kita berbeda
keyakinan. Dan aku tahu itu kesalahan
besar. Tapi aku gak bisa bohong dan menutupi rasa sayang aku ke kamu. Dan juga
sekarang aku terkena penyakit Kanker otak semenjak aku duduk di bangku SD. Aku
gak mau nyusahin kamu karena penyakit gue ini” katanya.
Apa! Andi kena kanker?
Rasanya aku ingin sekali menangis.
“Andi, aku tahu kita
gak seiman. Aku meyakini Allah SWT sebagai Tuhanku dan kamu menyakini Isa
Al-Masih sebagai Tuhanmu. Tapi hendaknya jika kalau kita berjodoh, Tuhan gak
bakalan misahin kita dengan penyakitmu ini” Ujarku lembut mencoba meyakinkan.
“Tini, udah jangan
nangis. Aku gak suka liat kamu nangis,” Katanya sambil menghapus air mataku.
“Makanya jangan buat
aku nangis dong, kamu harus kuat. Andi , yang aku kenal kamu itu cowok yang
kuat dan ngak pernah mau kalah” Kataku sambil tersenyum memberinya semangat
hidup.
“Tini, kamu mau gak
nurutin permintaan ku. Satuuuu aja”, pintanya.
“Tolong kamu ajari aku sholat, aku tau kita
pasti bisa bersama jika kita satu keyakinan. Sekarang umurku udah 18 tahun. Aku
berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Mama-Papa pasti megizinkan aku masuk
agama Islam. Dan aku mencintaimu hanya karena Allah,” Katanya dengan kondisi
lemas.
Aku terkejut karena
disaat keadaannya seperti itu dia malah minta diajarin sholat dan ingin masuk
islam. Aku pun membantunya berdiri dan mengajarkan berwudhu. Lalu mengajarinya
sholat. Setelah itu sayup-sayup kudengar dia mengucapkan “Asyhadu an-laa ilaaha illallaa, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah”.
Aku kaget bukan main. Ternyata dia hafal DUA kalimat syahadat tanpa kuketahui
sebelumnya. Dan disaat itu pula nafasnya berhenti dan meninggalkanku selamanya.
Aku menangis sekeras-kerasnya. Tapi aku tau, ini sudah takdir Allah. Aku tak
boleh menyesalinya. Andi adalah cowok pertama yang mengenalkanku apa artinya
cinta dan kasih sayang juga kewajibanku sebagai seorang Muslim.
No comments:
Post a Comment