Oleh: Panrita75
Suatu
pagi….
Saya,
Pak!” kataku bersemangat sambil mengancungkan tangan tinggi-tinggi.
Pak…Saya,
Pak! Ucapku sekali lagi, bahkan sedikit meninggikan suara.
Tapi,
suaraku seperti tertelan angin. Saat ketiga kalinya, aku mengancungkan tangan dan
dia tidak peduli. Akhirnya aku tidak bertanya lagi. Kejadian itu sudah memasuki
tahun kedua, tapi begitu membekas dan sejak itu mereka tidak pernah lagi
melihat aku mengacungkan tangan. Jangankan mau bertanya, hanya untuk sekadar
menjawab hadir pun aku tidak mengangkat tangan lagi.
Kecewa,
sedih, disepelekan, terhina adalah sederetan kata yang aku pilih untuk
menunjukkan betapa rasa itu tidak tergambarkan secara pasti. Saat orang tuaku
melihat satu gelagat aneh yang terjadi di luar kebiasaanku yang periang, mereka
dengan sigap membawaku ke dokter.
“Sakit
apa anak kami, Dok?” ayahkk memulai dengan tidak sabar, saat dokter keluar dari
ruangan berwarna putih itu. Ibuku
mengikuti dengan pertanyaan sama.
Merasa
ditodong pertanyaan, sang dokter spesialis penyakit dalam itu menjawab
“Saya
kuliah kedokteran empat tahun, dan melanjutkan spesialisasi penyakit dalam.
Saya juga memiliki gelar kehormatan sebagai dokter tamu di beberapa Universitas
di daerah ini”
Si dokter Spesialis
tidak melanjutkan, ia batuk-batuk kecil terlebih dahulu.
Melihat ada jeda,
ayahku langsung bereaksi bertanya mendahului ibuku.
“Maksudnya,
Dok! Saya tidak mengerti!”
“Ia
dong, Dokter. Apa hubungan kuliahnya dokter dengan penyakit anak kami!” Kali ini ibuku segera menimpali, tentu dengan
nada agak tinggi
Si
dokter spesialis, perlahan mundur ke belakang agak menjauh dari dua orang yang
sedang tidak sabaran ini. Padahal Ia tadi hanya jeda saja sedikit untuk
batuk-batuk kecil.
“Ah,
Bapak dan Ibu tenang dulu. Saya ini baru mau menjelaskan. Ayo silakan duduk
dulu!” katanya sambil mendorong kursi
depan mejanya, sembari ia juga kemudian duduk di belakang meja kerja berwarna
biru tua dengan tumpukan alat kedokteran di atasnya.
“Begini,
Pak, Bu!” ia kemudian menjelaskan panjang lebar tentang kondisi yang menurutnya
adalah gejala baru dalam dunia kedokteran. Penjelasan ini membuat ayah dan ibuku melongo tak
karuan.
Dokter
spesialis itu menjelaskan bahwa aku tidak kurang satu apapun. Bila dilihat
secara fisik aku sehat walafiat. Dokter memang telah bertanya macam-macam
tentang berbagai gejala yang boleh jadi dapat ia jadikan pengambilan
kesimpulan. Akan tetapi, seratus persen ia tidak mendapatkan jawaban yang
memadai untuk dijadikan alat diagnosa.
Bila Polisi
hanya butuh dua alat bukti untuk menetapkan tersangka. Dokter tidak bisa
begitu, Ia butuh berbagai macam keluhan untuk ia sambungkan menjadi satu
rangkaian diagnosa. Dan si dokter spesialis tidak menemukannya pada diriku.
“Bila
berkenan, kami akan melakukan cek lengkap terhadap anak Bapak! Saya akan
panggil koleg saya dari berbagai bidang spesialisasi.” Katanya meyakinkan Ayah
dan Ibuku.
Demikianlah
akhirnya aku ter-terungku dalam ruang putih di salah satu rumah sakit ternama
di kota ini. Di luar sana teman-temanku bertanya-tanya, memang separah apa
sakitku sehingga harus mendiami bilik rumah sakit, padahal bila dilihat aku
biasa-biasa saja. Rifaldi temanku malah penyakitnya bengek kambuhan, batuk
saban hari tapi dokter tidak menyuruhnya tinggal di rumah sakit. Atau Ical
penyakitnya gatalnya sepertinya luar biasa parahnya, garukannya membahana di
kelas tiap sampai semua orang geri melihatnya menggaruk. Tapi, dokter tidak
menyuruhnya juga tinggal di rumah sakit. Sebenarnya aku sakit apa.
Berbagai
pemeriksaan dilakukan oleh beberapa dokter spesialis. Aku seperti kelinci
percobaan mereka. Disuruh begini, begitu. Sampai akhirnya sudah dua minggu dan
hari ini adalah janji mereka kepada ayah dan ibuku untuk menjelaskan duduk
persoalannya.
“Baiklah
kami akan sampaikan diagnosa kami setelah melakukan serangkaian pemeriksaan
secara terintegrasi dari beberapa dokter spesialis.” Seorang dokter yang
kelihatannya sudah berumur dan pastinya paling senior di antara dokter-dokter
yang duduk disekitar kami.
Panjang
lebar dokter tua itu menjelaskan, berbagai argumentasi medis. Sampai-sampai
beberapa refrensi berbahasa Inggris dan Spanyol terselip disela penjelasannya
yang panjang kali lebar. Hal ini membuat
ibuku yang dari tadi sudah mulai sebal dengan penjelasan-penjelasan itu
tiba-tiba.
Brakkk…ibuku
menggebrak meja di depan dokter tua itu.
“Tolong,
Dok! Berhenti menjelaskan, dan katakan dalam bahasa Indonesia apa nama penyakit
anak kami! Titik!” suaranya meninggi
disertai napas memburu.
Dokter
tua mengurut dada, belum hilang rasa kegetnya karena gebrakan meja di kesunyian
ruangan. Kini ia mendapatkan teriakan keras dari ibuku, bak macan betina yang
lagi marah.
“Handmophobia!”
seorang dokter muda berseru
Semua
orang berbalik. Tampak dokter muda itu membantu si dokter tua yang lagi shok di
depan ayah dan ibuku.
“ya..itulah
nama penyakit anak ibu!” kini dokter tua itu angkat bicara dan membenarkan ucapan
koleganya.
“Penyakit
apa itu, seumur-umur baru kami mendengar nama penyakit itu!” ayahku bergumam
tak jelas sambil memandangi semua dokter di ruangan itu.
Maka
dokter tua yang tadi menjelaskan panjang lebar segera mengambil kendali lagi.
Ia menjelaskan bahwa Handmophobia adalah satu penyakit kejiwaan yang
berhubungan dengan orang-orang yang
bertanya mengacungkan tangan tinggi-tinggi tetapi tidak mendapat respons
dari orang-orang di sekitarnya.
Dan anak
Bapak, kata dokter tua itu, pernah mengalami ini di sekolahnya setahun yang
lalu. Ia mengacungkan tangan dengan bersemangat untuk bertanya. Tapi gurunya
tidak peduli bahkan seperti tidak mengindahkannya dalam ruangan itu. Rasa
kecewa itulah yang dibawahnya sampai saat ini. Dokter itu menutup sesi itu
dengan cepat-cepat memberesi buku-buku di depannya, kemudian berlalu dengan
cepat bersama dokter lainnya meninggalkan ayah dan ibuku yang sedang melongo
tak karuan. Di luar pintu tiba-tiba ia berhenti dan setengah berteriak.
“Itu
tidak ada obat medisnya, maaf…kami tidak
bisa mengantar Bapak dan Ibu keluar dari ruangan ini!” katanya ketus sambil
berlalu.
“Handmophobia…
Handmophobia …hanya karena tidak di pedulikan saat bertanya anak kita jadi
cacat mental, Bu!” kata ayahku sambil menutup muka sedihnya.
“Ia,
Pak” sahutnya yang dibarengi dengan deraian air mata.
Akhir
yang teragis bagiku. Tidak ada obatnya….Saban hari ketika kubuka jendela
kuhirup udara pagi. Kusaksikan teman-teman SMA-ku berangkat ke sekolah dengan
riang. Aku hanya terduduk dan tidak peduli lagi dengan sekolah. Dalam hatiku
aku berdoa semoga tidak ada lagi guru yang tidak peduli pada siswanya saat
mengacungkan jari untuk bertanya seperti diriku ini.
--tamat---

No comments:
Post a Comment