Wednesday, 28 August 2019

Sajak Sang Kawan


                                                                                                                  Oleh: Amriani Sakra
Hujan turun mengguyur kota kecil itu, suara teriakan anak kecil yang berlarian dari arah sungai terdengar merdu bersama suara air hujan yang terjatuh di tanah. Kaki-kaki kecil itu terus beralari dan berlari dengan sesekali melompat sambil berteriak kegirangan. Senyum indah mengembang di wajah mereka, sesekali tertawa, sesekali berteduh di bawah pohon, sesekali berteriak lepas...  benar-benar masa kanak-kanak yang akan dirindukan.
            “Nina... tutup pintunya Nak, hujannya semakin deras”
            “Iya Bu...”
            “Anak-anak itu lucu yah, Bu”
            “Lucu kenapa ?” ibu meletakkan secangkir susu hangat di depan ayah
“Mereka semua bermain-main dibawah hujan sambil tertawa, padahal baju mereka sudah basah dan penuh lumpur. Tapi mereka tetap terlihat senang tak punya beban apapun.”
“Anak-anak memang seperti itu, apapun dianggap lucu dan menyenangkan. Kalau sudah bermain pasti lupa waktu” Ayah meneguk susu hangatnya sekali lagi.
            “Dulu Nina juga seperti itu, kalau sudah main pasti lupa waktu”
            “apa semua anak kecil seperti itu Bu ?”
            Ibu hanya tersenyum lalu menatap ayah yang juga tersenyum.
            Hujan semakin deras, kutarik selimut unguku dan mulai merebahkan tubuh menuju indahnya alam mimpi yang semoga menghampiriku malam ini.
***
            Pukul 05.00 subuh aku telah terbangun dan bergegas mengambil air wudu untuk menghadap pada-Nya. Bersama ayah dan ibu, aku khusuk menjalankan tugas wajibku sebagai seorang muslim.
            Pagi menjelang, sepeda usang yang tiada letih mengantarku untuk menuntut ilmu dengan sabarnya melewati tanjakan berbatu dan penuh lubang. Bersamanya sang sepeda usangku lewati jalan setapak berharap hari ini akan ku raih berjuta ilmu.
            Seperti biasanya, aku bertemu dengan Airin di persimpangan jalan. Bersama-sama kami berangkat menuju sekolah yang kini berjarak satu kilometer. Sapaan hangat tak pernah terlewatkan teman seperjuangan yang selalu menapaki langkah demi langkah bersamaku.
Namun, hari ini mungkin hari yang tak cukup baik untuk Airin dimulai dari ban sepeda Airin yang tertusuk paku hingga kami terlambat datang ke sekolah, bekal makan siangnya yang tertinggal di rumah sampai mendapat omelan dari guru.
Tapi bukan hanya Airin yang mengalaminya, tapi juga aku.
            Kami berteman sejak kelas empat. Lalu ketika masuk di SMP juga sekelas. Awal kedekatan kami berdua tak cukup baik karena sifat kami yang sama-sama pendiam dan sulit beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Tapi... itulah yang kemudian menumbuhkan chemistry di antara kami berdua.
***
            Senin, 12 juli 2005
            Aku mulai risih dengan tatapan gadis yang menggunakan kalung dari kertas karton dan diberi sebuah tali untuk rantainya dan bertuliskan “bebek” yang sepertinya sejak tadi menatapku dengan sinis. Ia duduk seorang diri, mungkin cukup sulit baginya mencari teman sama halnya denganku. Kesan pertama bertemu dengannya ia SINIS, ia MENYEBALKAN, dan ia sangat-sangat tidak SOPAN.
            Pengumunan penempatan kelompok guguspun dimulai, terdengar namaku disebut oleh seorang kakak kelas dan dilanjutkan dengan nama-nama lain yang juga segugus denganku. Tak sengaja telingaku mendengar sebuah nama disebutkan “Airin Saputri, digugus empat” seorang anak perempuan berjalan menuju ke arah anggota gugus empat berkumpul. “Oh..., jadi namanya Airin” gumamku.
            “Bagaimana hari pertamanya MOS-nya Nak ?” ibu bertanya penasaran.
            “Menyenagkan Bu” balasku
            “Sudah mendapatkan teman?” ku goyangkan kepalaku ke kanan dan ke kiri isyarat tidak.
            “Nanti juga punya, Nina harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru”
            “Iya Bu”
            Hari ini cukup melelahkan, setelah berganti pakaian dan makan siang aku bergegas mengumpulakan enegiku yang telah terkuras habis hari ini. Sebelumnya aku telah berpesan pada ibu bahwa hari ini aku tak ingin di ganggu dan ingin tidur, untungnya ibu sangat mengerti.
            Setelah puas memejamkan mata selama empat jam aku bergegas mengambil air wudu untuk shalat asar yang belum sempat kulakukan sepulang sekolah tadi akibat kelelahan.
            Tiga hari MOS telah terlewatkan. Benar-benar menjadi hari yang panjang sebelum memulai masa-masa SMP-ku. Suasana ruang kelas SMP benar-benar berbeda dengan masa SD dulu, ini sangat menyenangkan. Satu persatu teman sekelasku berdatangan dan mengambil kursi sesuai keinginan mereka semua.
Aku berjalan menuju sebuah meja di barisan kedua di dekat tembok ruang kelas, tapi kulihat telah ada sebuah tas berwarna pink disana “Ah... padahal ini tempat yang paling kuinginkan”.
Akhirnya kuputuskan untuk duduk dibangku ketiga meskipun dengan rasa sedikit kecewa.
            Suasana kelas semakin ramai, semua penghuni kelas telah lengkap. Dihadapanku duduk seorang wanita dengan rambut hitam sebahu yang sedari tadi tak bersuara sedikitpun, tingkahnya sedikit aneh pikirku. Ternyata ia gadis menyebalkan yang menatapku sinis hari itu dan kini ia duduk di tempat yang sangat kuinginkan. Penilaianku padanya semakin tak baik setelah hampir seminggu hidup sekelas dengannya.
            Satu bulan dua bulan pun berlalu, masa SMP yang menyenangkan kusambut dengan suka cita. Keakraban antara kami sesama penghuni kelas semakin terasa. Hari ini pak Risal memberi tugas kelompok membuat sebuah peta dari kertas bekas dan harus dikumpulkan empat hari kemudian.
            Sepulang sekolah setelah berganti pakaian dan berpamitan dengan ayah dan ibu, kukayuh sepeda usangku dengan penuh semangat. Setelah hampir dua puluh menit menyusuru jalanan berbatu akhirnya kusampai disebuah rumah berwarna biru muda dengan pagar berwarna biru putih, rumah itu tampak sepi tak berpenghuni. Sepeda usang yang setia mengantarkanku kemana saja ku ajak memasuki pekarangan rumah yang tak begitu luas itu.
            “Assalamualaikum....” Aku ketuk pintu kayu dihadapanku. Terdengar sebuah langkah mendekati pintu.
            “Waalaikumsalam...” seorang gadis sebaya denganku dengan rambut sebahu yang terurai berdiri dihadapanku. Kami berdua duduk di teras rumah itu menunggu teman yang tak kunjung datang. 30 menit, satu jam, bahkan hampir dua jam kami menunggu dalam keheningan namun tak ada yang datang.
            “Kenapa mereka belum datang?” Aku coba mencairkan suasana yang sedari tadi sangat beku.
            “Mungkin hari tak jadi” jawabnya singkat
            “Tapi...”
            “Kalau kamu mau pulang silahkan saja. Biar aku yang menyelesaikannya”
            “Tidak! tidak bisa begitu, ini tugas kita semua bukan hanya tugas kamu. Aku akan tinggal mengerjakannya sampai selesai meskipun mereka tak datang” aku semakin jengkel padanya, ia hanya diam dan terus diam.
            Tugas membuat peta itupun kami selesaikan setengahnya berdua dalam diam, tak ada suara yang berasal dari mulut kami. Hanya suara kicau burung dan dedaunan yang tertiup angin. Sampai akhirnya kami sama-sama menemui kesulitan untuk mencocokkan warna yang sesuai untuk peta dihadapan kami. Untuk mempermudah memilih warna kugoyangkan tubuhku mendekat kearah tumpukan spidol warna yang terletak tak jauh dari gadis menyebalkan itu. Aku semakin bingung, tak jarang ku menggaruk kepala.
            “Mungkin warna ini lebih cocok” dua buah sidol berwarna coklat tua dan muda ia berikan padaku.
            “Oh iya, sepertinya warna ini cocok”
            “Biar aku saja yang memberi warna dibagian luarnya”
            “Kalau begitu aku yang dibagian dalamnya”
            Dengan lincah tangan kami mewarnai bagian demi bagian peta dunia yang terbendang di hadapan kami berdua. Tak butuh waktu lama, dalam dua jam peta itu telah terselesaikan oleh dua pasang tangan gadis cantik.
            “Aaahhh akhirnya....”
            “Ini tidak buruk”
            “Iya, besok siap untuk dipresentasikan”
            “Tapi, kenapa mereka tidak datang ?”
            “Mungkin ada hal penting yang mendesak”
            “Aku sedikit khawatir. Tapi, ah sudahlah.. yang jelas peta ini telah selesai” sejenak aku memerhatikan rumah ini, mengapa tampak sangat sepi? seperti tak berpenghuni padahal sudah sore.
            “Kamu sendirian ?” lanjutku
            “Emm” menganggukkan kepalanya
            “Orang tuamu kemana ?”
            “Kenapa kamu sangat ingin tau ?”
            “Ahh akuu...” waah orang ini benar-benar menyebalkan pikirku.
            Hari semakin sore langit pun akan segera berubah warna menjadi orange keemasan, butuh waktu lebih dari sepuluh menit untuk tiba di rumah, setelah berpamitan dan membereskan hasil kerja kami berdua segera Aku kayuh si Ungu yang usang.
            Pagi menyapa kembali, tiba waktunya untuk mempresentasikan hasil kerja kami dihari kemarin, Ana salah seorang anggota kelompok kami membukanya dengan sangat baik. Aku dan Airin sebagai pembicara utama, kami berdua benar-benar tim yang sangat hebat dalam bidang ini.
Kemampuan bicara Airin memang tak terkalahkan, ia benar-benar hebat dalam bidang ini. Dengan fasih kami menyelesaikan tugas itu dan hasilnya benar-benar memuaskan tepuk tangan dari seluruh penghuni kelas membuatku bangga pada diriku sendiri dan juga pastinya pada Airin tanpanya hasil seindah ini tak mungkin kami capai.
            “Kerjamu bagus” ini pertama kalinya aku melihat senyum indah itu darinya. Wajahnya benar-benar cantik saat sedang tersenyum.
            “Nina, Airin maaf kemarin kami tak datang... kemari tiba-tiba saja Rian mendapat musibah jatuh dari sepeda saat akan kerumah Airin, jadi kami semua mengantar Rian pulang. Maaf....” Ana menjelaskan alasan mereka tak datang kemarin kerumah Airin dengan nada dan ekspresi bersalah.
            “Sudahlah, lagi pula kita berhasil menyelesaikan tugas ini dengan baik.”
            “Apa Rian baik-baik saja ?” Airin kembali bercicara
            “Hmm.. iya untungnya luka Rian tak parah”
            “Syukurlah”
            Aku termenung mendengar kata-kata Airin, ku pikir ia orang yang sangat beku dan tak bisa mengkhawatirkan orang lain, tapi ternyata aku salah... Airin bukan orang yang sebeku itu. ia hanya tak tau bagaimana cara menunjukkan isi hatinya.
            Sejak hari itu, aku lebih sering mendengar suara dan melihat senyuman indah gadis itu, bahkan kami sering melewati hari bersama.
***
            Setelah lulus SMP kami memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di SMA yang sama. Setiap hari dengan dua sepeda usang kami mengayuh dengan penuh semangat berharap hari ini penuh dengan kecerian.
            Tak sedikit orang yang bertanya mengapa kami bisa berteman akrab dengan sikap Airin yang bagi sebagian orang sangat menyebalkan dan sikapku yang selalu tak mau mengalah, meski sebagian orang terkadang lelah melihat dan mendengarkan kami ketika sedang tak sejalan. Tapi itulah sebuah pertemanana, tak ada pertemanan  yang dimulai dengan akraban yang sangat akrab namun akan dimulai dengan kisah-kisah lucu tak terbayangkan yang kelak akan kita tertawakan bersama betapa konyolnya sebuah pertemuan pertama yang menyimpan kesan berjuta makna.
            Tak ada satu manusiapun yang sempurna, selalu ada cela di setiap langkahnya namun celah itu akan senantiasa berjalan beriringan bersama sebuah keistimewaan yang terkadang orang-orang tak mampu melihatnya dengan mata bahkan diri kita sendiripun terkadang tak menyadarinya. Butuh sebuah pengorbanan dan usaha tuk menemukan keistimewaan itu. seperti itulah aku dan Airin, dibalik kekurangan kami  berdua ada sebuah keitimewaan yang berjalan berdampingan dengan kekurangan itu. hanya saja orang-orang tak mampu melihat keitimewaan itu, namun aku... aku melihat keistimewaan itu dalam diri Airin, keistimewaan yang tak dimiliki oleh orang lain. Begitu pula sebaliknya, hanya Airin yang mampu benar-benar melihat sisi lain dari seorang NINA ya, hanya Arin...
            Entah sampai kapan kaki ini akan terus berjalan beriringan dengannya, entah sampai kapan kami akan berjalan dijalur yang sama, entah kapan takdir akan menunjukkan jalan berbeda yang harus kami daki seorang diri, entah sampai kapan... kisah ini akan kami rajut. Kisah ini bukanlah sebuah kisah istimewa tentang arti sebuah persahabatan yang rela berkorban untuk seorang sahabat yang disayanginya, namun seperti apa realita hidup tuk mencari sesosok teman yang kan ku sebut “SAHABAT” meski aku tak tau, meski aku tak yakin.. ia kah orangnya? inikah sebuah persahabatan yang selalu dijunjung tinggi oleh beberapa orang? inikah kisah luar biasa tentang arti seorang sahabat? kurasa bukan... ini hanya kisah sederhana bagaiman rasa nyaman itu hadir setelah perdebatan panjang. Inilah sebuah proses tuk saling mengenal dan melihat diri orang lain. Inilah saat ketika aku harus melihat sosok lain dalam diri seseorang tuk dapat mengenal, bukan sekedar mengenal tapi benar-benar mengenalnya...
            Ia Arin, kawanku... bukan karena semua persamaan yang menyatukan kami tapi sebuah kisah lucu tentang sebuah ketidaknyamanan hingga aku dapatkan sebuah kenyamanan bersandar dan tinggal didirinya. Kisah yang akan selalu kami rindukan, kisah penghibur lara saat gunda menyapa, kisah yang tak dimiliki orang lain. Akankah kisah ini seperti sepeda usang yang selalu mengantar dan menjadi saksi kisah ini? yang bertahan hingga akhir, yang meski telah usang namun tetap penuh makna.. meski telah usang namun semangatnya tak pernah pudar. Semoga saja....
            Ini bukan kisah hebat tapi inilah realita pencarian seorang kawan yang dimulai dari titik terendah dan semoga akan selamanya berjalan bersama untuk mencapai titik tertinggi....